Peranan Wakaf Tunai Dalam Pembangunan

rm
0

Dengan hadirnya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan.


Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004 disebutkan bahwa rencana pengeluaran negara tahun 2004 sebesar Rp 368 triliun, sedangkan target pendapatan negara ditambah hibah mencapai Rp 343,9 triliun atau naik 2,3 persen dibandingkan dengan tahun 2003. Dengan demikian APBN 2004 akan mengalami defisit 1,2 persen terhadap PDB atau sekitar Rp 24,9 triliun. Di bagian lain juga disebutkan bahwa surat utang negara Rp 18,9 triliun akan jatuh tempo dan harus dilunasi tahun 2004.


Dengan kondisi defisit 1,2 persen kita tidak bisa berharap banyak pada pemerintah untuk mengatasi dua persoalan besar bangsa ini yakni kemiskinan dan kebodohan. Apalagi, negara dengan 200 juta lebih rakyat ini masih menyisakan utang yang begitu besar, yang terdiri dari:

1. Utang luar negeri Pemerintah, 70 miliar dolar AS (Rp 630 triliun)

2. Utang dalam negeri Pemerintah Rp 650 triliun, (Rp 200 triliun BLBI dan Rp 400 triliun lebih obligasi rekapitalisasi perbankan)
3. Utang luar negeri swasta, yang hampir mencapai 60 miliar AS (Rp 540 triliun)

Sumber: M. Syafii Antonio, Republika Senin, 06 Januari 2003


Di sisi lain, krisis ekonomi yang mendera negeri ini telah mewariskan penderitaan pada masyarakat. Sampai-sampai Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Jemaluddin Kassum mengingatkan, kurang lebih tiga per lima (60 persen) penduduk Indonesia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 10-20 persen hidup dalam kemiskinan absolut (extreme poverty). Jika definisi garis kemiskinan yang dipakai adalah pendapatan US$2 per hari, jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun adalah 65,1 persen tahun 1999, 57,9 persen (tahun 2000), 56,7 persen (tahun 2001), 55,1 persen (2002), 53,4 persen (2003), 51,5 persen (2004), dan 49,5 persen (2005). Angka kemiskinan 49,5 persen tahun 2005 ini kira-kira sama dengan level sebelum krisis, yakni tahun 1996 yang sebesar 50,1 persen. Angka kemiskinan berdasarkan definisi yang dipakai pemerintah (Badan Pusat Statistik/BPS) sendiri lebih kecil, yakni 27 persen tahun 1999, 15,2 persen (2000), 15,7 persen (2001), 14,6 persen (2002), 13,3 persen (2003), 12,1 persen (2004), dan 10,9 persen (2005). (Lihat Kompas, 8 November 2001)

Peranan Wakaf

Sesungguhnya Islam punya solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kebodohan di Indonesia, tanpa mengandalkan pada APBN yang sangat terbatas itu. Salah satu solusinya adalah dengan mendayagunakan wakaf. Allah SWT berfirman dalam Alquran, :Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS Ali Imran (3) ayat 92). Sedangkan dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, Apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal yaitu shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya tetap mengalir), ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan doa anak yang saleh.

Berdasarkan landasan-landasan ini, beberapa ahli berpendapat, yang termasuk shadaqah jariyah dalam hadis itu, salah satunya, adalah harta yang diwakafkan. Waqf atau wakaf secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam. Oleh karena itu, tempat parkir disebut mauqif karena di situlah berhentinya kendaraan demikian juga padang Arafah disebut juga Mauqif di mana para jamaah berdiam untuk wukuf. Secara teknis syariah, wakaf sering kali diartikan sebagai aset yang dialokasikan untuk kemanfaatan umat di mana substansi atau pokoknya ditahan, sementara manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum. Secara administratif wakaf dikelola oleh nadzir yang merupakan pengemban amanah waqif (yang memberi wakaf). Contoh yang paling klasik dari wakaf adalah tanah.

Hubungan antara makna harfiyah dan makna teknis terkait dengan adanya ”keabadian” unsur pokok (substansi) di mana ia harus berhenti, tidak boleh dijual atau dialihtangankan kepada selain kepentingan umat yang diamanahkan oleh waqif kepada nadzir waqf. (M Syafii Antonio, Republika Online, 11 February 2002)

Selama ini, Indonesia wakaf dikenal dalam bentuk aset seperti: tanah dan gedung. Bahkan wakaf tanah sangat biasa digunakan untuk pembangunan mesjid. Begitu juga dengan wakaf gedung, yang seringkali digunakan untuk sekolah dan TPA. Yang masih jarang dipraktikkan di Indonesia adalah wakaf tunai (cash waqf). Padahal menurut Antonio (2003), dalam catatan sejarah Islam, cash waqf ternyata sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.

Dengan wakaf tunai, masih menurut Antonio, ada empat manfaat utama dari wakaf uang dewasa ini. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.

Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Dr. Mustafa E. Nasution, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Potensi ini mesti segera digarap secara profesional oleh lembaga wakaf.

Di Timur Tengah program wakaf tunai telah lama dinikmati keberhasilannya. Sebut saja Al Azhar University Cairo merupakan salah satu potret keberhasilan program wakaf tunai. Di Indonesia sendiri, Dompet Dhuafa mengembangkan program wakaf tunai dalam bentuk Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC), sekolah unggulan dan gratis untuk orang dhuafa. Program wakaf tunai di Mesir ternyata telah sukses dalam membangun pendidikan Muslim. Bagaimana dengan negeri kita? Wallahu’alam bis-Shawab. 

Penulis, Efri Syamsul Bahri. Sumber: TazkiaOnline 10/04/2004 dan dimuat di Republika 26 Januari 2004. 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)