Dalam agama Islam, persaudaraan memiliki peranan penting dalam mempererat hubungan antar umat Muslim. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya pentingnya mencintai orang beriman dan menjaga tali silaturahmi antara sesama muslim.
Abu Hurairah r.a, sahabat Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, pernah memohon doa kepada beliau untuk dirinya
dan ibunya. Beliau pun mendoakan mereka dengan permohonan agar Allah Subhanahu
wa Ta'ala menumbuhkan cinta mereka terhadap kaum beriman, begitu juga
sebaliknya. Doa ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara cinta dan
persaudaraan keimanan (al-ukhuwah al-imaaniyyah). Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang sering kita dengar, "Sesungguhnya kaum beriman
itu bersaudara." (Al-Hujurat: 10)
Persaudaraan merupakan bukti nyata dari
adanya cinta di antara sesama muslim. Dan sebaliknya, cinta juga menjadi bukti
akan eksistensi persaudaraan tersebut. Siapa pun yang mencintai kita karena
imannya, maka dia berhak mendapatkan ukhuwah Islam dari kita. Seperti yang
disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau
merangkum ajarannya tentang hal ini, "Jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara." (Bukhari)
Menurut Al-Qurthubi, maksud dari hadis
tersebut adalah untuk menjadi saudara sebagaimana dalam hubungan nasab, dengan
saling menyayangi, saling berwasiat, saling menolong, dan saling menasihati.
Persaudaraan ini juga mencakup sikap tolong-menolong dan membela sesama muslim.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
melarang umatnya saling mendengki, menipu, memarahi, dan membenci satu sama
lain. Sebaliknya, setiap muslim dianggap sebagai saudara bagi muslim lainnya.
Oleh karena itu, kita tidak boleh menganiaya atau membiarkan orang lain terluka
secara fisik maupun hati. Rasa takwa harus ada di dalam diri setiap individu
agar dapat menjaga kehormatan dan harta milik sesama Muslim.
Cinta kepada sesama muslim juga tercermin dari perilaku kita terhadap mereka yang memiliki sifat-sifat baik dalam Islam. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai orang-orang yang taubat (tanwaabin), orang-orang yang mensucikan diri (mutathabbiriin), orang-orang yang melakukan kebaikan (muhsiniiin), dan para bertakwa (muttaqiin), maka kita pun dianjurkan untuk mencintai mereka.
Dalam hubungan persaudaraan muslim, penting bagi kita untuk saling membantu, bekerjasama, menolong, dan membela satu sama lain. Sikap ini dikenal sebagai takaaful. Sikap takaaful ini tidak dapat terwujud jika masyarakat masih mengedepankan sikap egois tanpa adanya rasa persaudaraan atau cinta sesama muslim.
Dalam lembar sirah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga terdapat contoh nyata bagaimana cinta
terhadap saudara seiman diwujudkan dalam perilaku takafal. Peristiwa
pemboikotan yang dilakukan oleh Quraisy pada masa awal dakwah Islam mendapatkan
pembelaan dari Bani Hasyim yang mayoritas belum memeluk Islam saat itu. Mereka
memberikan dukungan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para
sahabatnya dengan sikap takaful sehingga pemboikotan tersebut akhirnya
berakhir.
Kita perlu memiliki semangat takaful ini
dalam menjalin hubungan dengan sesama muslim. Karena setiap muslim adalah
saudara kita sendiri, maka kita tidak akan rela melihat saudara-saudara kita
menderita atau mengalami kesulitan hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain.
Kesatuan dalam persaudaraan muslim ini membuat kita saling mencintai,
menyayangi, dan mengasihi satu sama lain. Seperti yang disampaikan oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Perumpamaan orang-orang beriman
dalam saling mencintai, saling merasakan penderitaan, dan kasih sayang mereka
seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka anggota
tubuh yang lain ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam."
(Bukhari dan Muslim)
Dengan menjalin hubungan yang erat antar
sesama muslim melalui cinta dan persaudaraan dalam Islam, kita dapat membentuk
masyarakat yang kuat serta saling mendukung dalam kebaikan. Mari kita terus
memperkuat ukhuwah Islamiyah sehingga umat Muslim menjadi lebih solid dan harmonis.
Penulis adalah Fajri Nurul Izzati
mahasiswa STEI SEBI, Depok.