Manusia Setengah Dewa Dari Wuna-Wolio, Menjadi Raja Di Wuna (Muna) Dan Sultan Di Wolio (Buton)

rm
0


RepublikMenulis.Com
- Sejarah La Galigo atau I La Galigo merupakan karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Epos ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh Raja Dunia Atas atau Raja Langit bernama LA PATIGANNA gelar ADJI SANGKURUWIRA TO PALANRO’E alias DATU PATOTO’E SANGKURUWIRA TUPU’EBATU RI WIRING LANGIQ. Tokoh sentral dari kisah I La Galigo adalah Sawerigading.

Ketika dunia masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), raja langit, La Patiganna, mengadakan musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib, memutuskan melantik anak lelaki raja langit yang tertua, LA TOGE’ LANGI’ menjadi Raja Alekawa (bumi) dan memakai gelar BATARA GURU dengan satu  Syarat bahwa sebelum turun ke bumi, ia harus melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam.

Setelah masa ujian selesai, Batara Guru kemudian turun ke bumi, di Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini menjadi Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone. Di kemudian hari, La Toge’ langi’ menikahi sepupunya WE NYILI’TIMO’, anak dari GURU RI SELLENG, Raja Alam Gaib. Selang berapa lama, Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, LA TIULENG yang memakai gelar BATARA LATTU’. La Tiuleng kemudian menikah dan  mendapatkan dua orang anak kembar bernama LAWE atau SAWERIGADING dan seorang anak perempuan bernama WE TENRIYABENG yang dibesarkan terpisah.

Cilakanya, suatu saat Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa mereka masih bersaudara. Ketika ia mengetahui hal tersebut, ia lantas meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Sawerigading lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok.

Dalam perjalanannya menuju Tiongkok, ia mengalahkan beberapa jawara termasuk kepala pemerintah Jawa Wolio – (adakah hubungannya dengan Wolio di Buton?) - yakni Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikahi putri Tiongkok bernama We Cudai. Sawerigading sendiri adalah seorang kapten kapal yang perkasa. Ia pernah mengunjungi berbagai macam tempat, seperti Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga Sunda Timur dan Sunda Barat) serta Melaka.

Sawerigading adalah ayah I LA GALIGO (yang bergelar DATUNNA KELLING). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terdiri dari istana berdekatan dengan Rumah Dewan (Baruga) dan rumah-rumah para bangsawan terletak berdekatan dengan muara.

Ratu Wolio pertama di Butuni di gelar Wakaka, dimana menurut lagenda ia muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.

Di Pulau Wuna yang berdekatan, orang pertama yang membangun pemerintahan  mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule (Beteno ne Tombula)Bheteno ne Tombula - juga dikenali sebagai Zulzaman (Baiduz zaman) adalah keturunan Sawerigading. Permaisurinya bernama Tendiabe. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Nama Tendiabe mirip dengan nama We Tenriabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, menikah dengan La Eli gelar Remmang ri langi', atau artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenriabeng.

Pemerintah kedua, bernama La Patola alias Sugi Patola gelar Kagua Bangkeno Fotu adalah Anak keturunan La Eli. Setelah Sugi Patola, berturut-turut secara estafet nak La Eli  menjadi Raja Muna seperti Sugi Lambona, Sugi Mpatani, Sugi Laende alias Sugi Mpeari, dan terakhir SUGI MANURU gelar Kobangkuduno alias Omputo Mepasokino Adhati.-

Sugi Manuru bergelar Amano Horo menikah dengan 5 orang perempuan sebagai berikut:

1.    Dengan Putri Lindo Lagadi - menikah tidak resmi, beranakan Akalamu Glr. Soygu te Ambo

2.    Dengan Putri Lindo Lasehao, - tidak ada catatan keturunannya.-

3.    Dengan Watu Bhapala bt Kie Jula beranakan :

-        La Posasu Glr. Kobangkuduno, Raja di Muna

-        La Rompei Somba, Raja di Muna

-        Pata Lakamba Glr. Patta Mandawari di Selayar

-        La Kilaponto Glr. Murhum, Sultan I dan Raja Buton ke 6 dan Raja Muna ke7

-        Wa Opogo

4.    Dengan Wa Sarone bt Fulana dr Banggai beranakan :

-        La Kakoda, Lakina Wasolangka

-        La Mangkutara, lakina Lahontohe

-        La Kakolo, Lakina Lohia

-        La Pana, Lakina Rete

-        La Tendri Dati, Lakina Bombonawulu

-        Wa Kalipopota, Lakina Lakudo

-        Wa Sidakari, X La Butu, Lakina Lasehao

-        Dengan Onggabe bt Fulana beranakan : La Tolulakino, kemudian disebut orang Tolaki

Keturunan pertama Sugi Manuru yang menjadi Raja adalah La Kilaponto – kelak dikemudian hari dikenal sebagai MURHUM alias La Timbang-Timbanga menjadi Raja Wolio ke 6 merangkap Raja Muna ke 7.- Setelah menerima Islam,  Kerajaan Wolio mengubah dirinya menjadi Kesultanan dan La Timbang-Timbanga alias Murhum menjadi Sultan Buton I bergelar Sultan Qaimudin Khalifatul Khamis.- Dari Murhum, anak dan cucunya di Buton memangku jabatan sebagai Sultan dan dijabat silih berganti namun tidak berpola Dinasti. Sedangkan sebagai Raja di Muna, Murhum menikah dengan seorang perempuan – dianggap Selir – (tidak diketahui namanya) - punya anak bernama Kie Sura. Keturunan Murhum di Muna tidak ada satupun yang menjadi Raja.- Demikian pula halnya dengan La Posaso.-

Paska Kesultanan Buton bergabung dengan NKRI - 1959, masa keemasan dan kemuliaan Kesultanan Buton tidak otomatis pudar karena pemegang tampuk pemerintahan Daerah Buton masih dijabat oleh anak-cucu Sultan seperti La Ode Manarfa bin Sultan La ode Falihi adalah Bupati Sulawesi Tenggara. Disusul kemudian La Ode Hadi bin Sultan La Ode Hamidi – sepupu sekali La Ode Manarfa – menjadi Gubernur Sulawesi Temnggara I ketika Sulawesi Tenggara berubah status sebagai Propinsi.- Tidak hanya itu, cucu dari Sultan La Ode Muhammad Asikin bernama La Ode Abdul Halim bin La Ode Santaunga (Kepala Distrik Wakarumba) diangkat sebagai Bupati Buton I.-

Berbeda halnya dengan di Buton, setelah La Posaso lengser, jabatan Raja Muna diserahkan kepada saudaranya bernama Rampai Somba. Dari keturunan Rampai Somba-lah, tahta Kerajaan Muna dijabat silih berganti dan berlaku hukum Dinasti.-  

Keturunan langsung Rampai Somba tidak selamanya menjabat sebagai Raja Muna. Adanya perbedaan pandangan politik antara Raja Muna dan Kesultanan Buton karena adanya campur tangan Pemerintah Hindia Belanda, beberapa kali jabatan Raja Muna di emban oleh Pelaksana Tugas (Plt) atau Solewata – Solewatang (Bugis), atas perintah Sultan Buton saperti La Ode Muhammad Idris, La Ode Pontimasa, La Ode Tumawo, La Ode Ali, La Ode Malei dan La Ode Ngkumabusi. Kendatipun mereka bukan keturunan langsung dari Rampai Somba, namun darah Murhum mengalir dalam diri mereka yang juga adalah darah Rampai Somba.-

Tahta Raja Muna terakhir bergelar Aro Wuna, dijabat oleh La Ode Rere – cucu dari La Ode Bulae, gelar Sangia La Ghada dari tahun 1926 – 1928. Sedangkan La Ode Dika, memerintah Muna thn 1930 – 1940 merupakan cicit dari Sangia La Ghada, saat meninggalkan jabatan Raja, oleh Sara Wuna di beri gelar Komasigino.-

Setelah Muna tidak lagi menjadi Kerajaan dan resmi bergabung dengan NKRI pada tahun 1959, maka sejak saat itu bereinkarnasi sebagai Pemerintah Kabupaten melalui fase Pemerintah Swapraja dan Daerah Swatantra.-

Tercatat dalam Sejarah Kabupaten Muna, cicit Raja Muna sangia La Ghada, bernama La Ode Rasjid bin La Ode Dika, menjabat sebagai Bupati Muna lalu disusul saudaranya La Ode Kaimuddin bin La Ode Dika juga jadi Bupati Muna. Selang beberapa tahun, La Ode Kaimuddin selanjutnya menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara 2 periode.-  Saat ini, Bupati Muna dijabat oleh L.M.Rusman Emba yang juga adalah generasi ke 7 dari Raja Muna La Ode Sumaili gelar Omputo Nisombo.-

Hal yang paling menarik dari profil pejabat Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton umumnya “memiliki” darah biru Sugi Manuru. Tidak hanya pada level kabupaten, pada tingkat propinsi, Pejabat Gubernur Sulawesi Tenggara-pun ternyata memiliki hubungan darah baik langsung atau tidak langsung dengan Sugi Manuru melalui Murhum dan Rampai Somba.- Sebut saja La Ode Manaarfa, LaOde Hadi, Edi Sabara, Silondae, Alala, La Ode Kaimuddin, Nur Alam dan Ali Mazi.-

Kesimpulan yang dapat ditarik dari peristiwa sejarah diatas adalah bahwa keturunan dari Raja Wuna dan Sultan Buton adalah “pengendali” utama pemerintahan mulai dari Kesultanan Buton, Kerajaan Muna hingga Kerajaan Konawe.- Jangan lupa bahwa Murhum pada saat berada di Mekongga / Konawe diangkat juga sebagai Raja Konawe dengan gelar Halu Oleo, menikah dengan Anaway Angguhaira alias Ngguluri binti Putri Raja Konawe sedangkan buyut Murhum dari pihak ibunya adalah turunan Raja-Raja Mekongga.-

Hasil pernikahan Murhum dengan Anaway melahirkan 3 (tiga) orang putri masing-masing bernama Wa Ode Lepo-Lepo, Wa Ode Poasia dan Wa Ode Konawe. Dari 3 (tiga) putri inilah kamudian lahir “marga” Tolu Laki atau Tiga Bangsawan di wilayah Konawe yang kemudian lebih dikenal sebagai Suku Tolaki.-

Pada umumnya, para buyut Raja dan Sultan ini, tatkala memerintah daerah baik sebagai Gubernur atau Bupati menunjukan prestasi, kesejahteraan, keamanan dan adanya jaminan kemakmuran tentu dengan beberapa pengecualian karena adanya faktor pengalaman, skill dan kemampuan.-

Mereka adalah putra-putri terbaik Buton dan Muna. Dalam darah mereka mengalir darah Dewa La Patiganna gelar Adji Sangkuruwira To Palanro’e Alias Datu Patoto’e Sangkuruwira Tupu’ebatu Ri Wiring Langiq. Dalam perjalanan kehidupan mereka, berkawin mawin pula dengan bangsa lain yang tidak kalah kegagahannya bahkan bertemu pula dengan darah suci dari Nabi Muhammad saw.-

Siapapun mereka dan apapun kini jabatan mereka, tidak akan pernah terbantahkan bahwa darah Dewa yang bersemayam dalam tubuh mereka dan berpadu dengan ruh dan jiwa suci Nabi Muhammad saw, sejatinya menjadi tokoh panutan dan anutan, “berhak” atas tahta kepemimpinan daerah demi tercapainya masyarakat sejahtera, makmur merata dan bermartabat.-

Kini masa telah berganti dan musim telah berubah. Setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Namun ada satu hal yang tidak boleh dilupkan dan takkan pernah tergantikan bahwa orang berwatak pemimpin, ksatria, gagah berani dan berkarisma akan selalu menurunkan watak seperti dirinya ketika Zaman Membutuhkannya. Dan itu PASTI TERJADI. Wallaahu a’lamu bishshawwab. Hasbunallaha wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’mal nashir. (Penulis adalah Adjinur Halidin, Pemerhati Sosial dan Pendidikan).

Sumber :

1.       Sastra I La Galigo

2.       Sejarah Adat dan Kebudayaan Muna – J. Couvrer

3.       Sajarah dan adat fiy Daarul Buthuni – AM. Zahari

4.       Silsilah Raja Muna dan sultan Buton – La Golobe / AM. Zahari

5.       La Ode Ali Hanafi alias La Ode Kaura bin La Ode Dika

6.       Lain-Lain Sumber / Internet 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)