Republikmenulis. com -- Kegiatan Studi Tur akhir-akhir ini
menjadi sorotan banyak pihak. Hal ini muncul setelah terjadinya kecelakaan bus
pariwisata yang membawa rombongan siswa SMK Lingga Kencana, Depok. Bus tersebut
mengalami kecelakaan maut di jalan raya Ciater, Subang, Jawa Barat pada Sabtu
lalu(11/5). Kecelakaan tragis yang melibatkan bus pariwisata dengan beberapa
kendaran lain itu menyebabkan 11 orang meninggal dunia. Keluarga korban tak
pelak histeris dan tidak bisa menyembunyikan kesedihan karena ditinggal oleh
orang-orang yang mereka sayangi. Setelah diusut, pihak kepolisian menyebut bus
tersebut memang tidak layak jalan tapi tetap dipaksakan. Pemeriksaan di
lapangan menunjukkan bahwa oli bus sudah keruh karena lama tak diganti. Maka
bisa diambil kesimpulan bahwa penyebab utama kecelakaan maut tersebut karena
adanya kegagalan fungsi pada sistem pengereman bus.
Kecelakaan rombongan SMK Lingga Kencana, Depok di kawasna Ciater, Subang, Jawa Barat tersebut menambah daftar panjang kejadian serupa yang terjadi sebelumnya. Sejak tahun 2019, tercatat terjadi tiga kecelakaan busa pariwisata rombongan sekolah. Diantaranya kecelakaan bus rombongan siswa SDN Harapan 1 Banten terguling di Puncak, Bogor(1/5). Setelah itu terjadi kecelakaan beruntun rombongan SMAN6 Padang(11/12)di Sitinjau Lauik, Padang. Setahun kemudian, di tahunm 2020 terdapat tiga kasus serupa yaitu kecelakaan bus sekolah milik PT Antam Tbk, di Sanggau, Kalimantan Barat(6/2). Kecelakaan tunggal rombongan SMKN1 Cianjur di Garut, Jawa Barat, Rabu(22/7). Tak lama berselang, kecelakaan kembali terjadi yang menimpa rombongan Outing Class SMPN 20 Jatibening Pondok Gede dengan tujuan Garut pada jumat pagi(7/2). Bus tersebut ditabrak oleh bus Budiman jurusan Tasikmalaya-Kalideres.Kejadian ini terus berlanjut ke tahun 2021 hingga kasus yang terbaru(2024)
Tak pelak, pasca kejadian ini banyak yang beranggapan bahwa Studi Tur mesti dihilangkan. Alasannya tentu untuk menjamin keselamatan siswa. Beberapa daerah konon kabarnya sudah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi kegiatan studi tur ini. Kalau kita menilai dari sisi ini, tidak ada yang salah. Namun bila dirunut akar permasalahannya bukan kegiatan studi turnya yang keliru. Akan tetapi kelayakan bus yang membawa peserta studi tur lah yang mesti dipertanyakan. Sejatinya, kecelakaan di jalan raya itu disebabkan oleh factor moda transportasi yang digunakan dan juga budaya pengendara di jalan. Tidak ada hubungannya dengan penting atau tidaknya sebuah kegiatan studi tur. Terakhir, tentu sudah takdirnya demikian
Jamak diketahui bahwa kegiatan Studi Tur ini tujuan nya adalah agar siswa mendapatkan pengalaman langsung dengan mengunjungi berbagai objek tertentu. Sebutan untuk Studi Tur ini sendiri sangat banyak diantaranya Fild Trip, Outing Class, Studi Tiru, Studi Banding, dan penamaan lainnya. Secara konsep, Studi Tur ini termasuk salah satu alternatif pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Tujuannya adalah agar siswa memahami materi ajar yang disampaikan dan mengaitkannya dengan apa yang mereka lihat di lapangan.
Selain itu dengan adanya CTL ini siswa tidak lagi jenuh dengan metode belajar di kelas yang cendrung monoton. Oleh karenanya mereka dibawa ke lingkungan sekitar agar mendapatkan ilmu dari luar. Disana mereka bisa melakukan observasi dan mendapatkan kesimpulan. Contohnya disaat siswa belajar sejarah G-30 S-PKI. Akan jauh lebih terasa jika siswa langsung mengunjungi Museum Lubang Buaya dibandingkan dengan hanya belajar di kelas. Begitu juga ketika siswa belajar tentang sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Ini akan terasa jika siswa mengunjungi langsung peninggalan Jepang seperti lobang Jepang misalnya. Disana mereka akan mendapatkan berbagai informasi yang tidak mereka dapatkan di dalam buku dan ruang kelas. Pembelajaran seperti ini sangat mudah dimengerti oleh siswa. Sebab mereka langsung belajar dari apa yang mereka lihat dan saksikan. Hanya saja, selama ini yang dominan kebanyakan adalah kepada rekreasinya dibandingkan pembelajaran. Yang terbayang oleh siswa jika pergi Studi Tur lebih kepada jalan-jalan semata. Inilah yang mesti dievaluasi oleh sekolah. Siswa harus dikondisikan sebelum berangkat. Ia harus diberikan tugas. Kapan perlu diberikan nilai oleh guru pendamping. Yang terjadi selama ini adalah guru membiarkan siswa pergi Studi Tur tanpa diberikan Standar Operational Procedure (SOP) yang jelas.Gurunya sendiri juga sibuk menjepret disana sini. Akibatnya siswa merasa bebas dan lupa dengan tujuan utama dari Studi Tur ini. Tidak jarang yang terjadi, siswa lebih banyak mengabadikan momen dengan gadgetnya dibanding menggali informasi tentang sebuah objek yang dikunjunginya.
Tidak ada yang menginginkan datangnya musibah sebab hanya akan mendatangkan kerugian moril dan materil. Hanya saja tidak ada yang bisa memprediksi kapan ia akan datang. Kecelakaan bus yang membawa siswa selama ini murni kepada kelalaian sopir dan juga ketidaklayakan kendaraan. Harusnya bukan Studi Tur nya yang dilarang. Akan tetapi SOP sopir dan KIR (Uji Kendaraan Bermotor) nya yang diperketat. Pihak kepolisian dalam hal ini harus menindak setiap sopir bandel yang tidak mencantumkan surat uji KIR. Semoga kejadian serupa tidak lagi terulang. Cukuplah kecelakaan rombongan siswa SMK Lingga Kencana, Depok ini yang terakhir kalinya. Semoga (Penulis, Fauzul Izmi, Lahir dan besar di Ampek Angkek, Kabupaten Agam, berdomisili di Kota Padang Panjang)