Oleh Yossi Annisa (Mahasiswi Universitas Negeri Medan (Unimed)
Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan jenis entitas bisnis berbasis ekonomi kerakyatan dimana ekonomi kerakyatan tersebut menurut Prof. Drs. M. Dawam Rahardjo ialah suatu aliran pemikiran ekonomi yang menjadikan rakyat kecil sebagai pelaku inti dalam geliat perekonomian suatu negara. Di Indonesia, UMKM merupakan sektor usaha mayoritas dengan jumlah terbesar. Dari tahun ke tahun jumlah pebisnis UMKM di bumi pertiwi mengalami peningkatan terlihat dari data Kementrian Koperasi dan UMKM pada 2012 UMKM berjumlah 56.534.592 unit. Sementara itu, di tahun yang sama jumlah usaha skala besar hanya 4.968 unit, di tahun sebelumnya pada 2011 UMKM di Indonesia sebanyak 55.206.444 unit dengan jumlah usaha besar sebanyak 4952 unit. Tahun 2013 dari data yang dilansir dari laman setkab.co.id akumulasi kuantitatif UMKM menembus 57.895.721 unit usaha atau berjumlah 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia yang berjumlah 57.900.787 unit.
Kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional terbilang cukup tinggi yakni pada 2012 dari total PDB Rp 8.241,9 triliun, 59,08% nya berasal dari UMKM. Walaupun kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia lebih tinggi, yang juga mengindikasikan bahwasa penghasilan UMKM lebih banyak dari usaha besar, namun sayangnya sektor yang disebut sebagai pahlawan bangsa oleh mantan menteri perekonomian Hatta Rajasa karena kemampuan bisnis tersebut bertahan ketika dilanda krisis serta mampu menciptakan banyak lapangan kerja cukup bermasalah di bidang permodalan dan sumber daya manusianya. Ini selaras dengan yang dikatakan Kuncoro Mudrajat dalam bukunya Ekonomika Pembangunan bahwa dari masalah-masalah dasar yang dihadapi UMKM diantaranya adalah kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan memperoleh jalur ke sumber permodalan serta kelemahan di bidang organisasi dan manjamen sumber daya manusia.
Problematika tersebut sedikit banyaknya akan berdampak kepada kualitas produk yang dihasilkan. Jika produk yang dihasilkan UMKM tidak terlalu berkualitas maka produk UMKM tidak akan mampu bersaing dengan produk usaha besar apalagi dengan produk luar negeri. Terlebih lagi di akhir tahun 2015, suka tidak suka mau ataupun tak mau negeri ini akan menghadapi AEC (Asean Economy Community) yakni suatu era dimana persaingan bebas ASEAN diberlakukan, yang memungkinkan produk-produk luar negeri leluasa memasuki pasar Indonesia dan menjadi rival berat bagi produk dalam negeri, termasuk produk UMKM jika berbagai produk domestik tersebut tidak memiliki kualitas yang baik. Hal ini dikarenakan produk-produk yang akan membanjiri bumi pasar bumi pertiwi berasal dari negara dengan World Competitiveness Index (WCI) di posisi 40 besar bahkan top ten internasional seperti singapura, Malaysia (23), Brunei (28) Thailand (38) yang memiliki daya saing dunia yang jauh diatas Indonesia yang berada di posisi 50 dari 144 negara.
Namun, sebelum AEC terjadi, hendaklah UMKM lebih meningkatkan competitive adventage-nya dan meminimalisir belenggu permasalahan yang ada sehingga liberalisasi perdagangan ASEAN yang akan terjadi nantinya akan menjadi sebuah peluang serta mementum bagi UMKM untuk go internasional menjejaki kancah dunia dalam pemasaran maupun promosi produknya.
Permodalan dan Sumber daya Manusia
Dalam usaha meningkatkan competitive adventage UMKM yang merupakan usaha yang menurut UU No 20 tahun 2008 memiliki aset tidak lebih dari 10 miliar dan beromset maksimal 500 miliar yang mampu menyerap 97.16% tenaga kerja ini harus terlebih dulu meminimalisir permasalahan yang dapat melemahkan potensi bisnisnya. Masalah permodalan salah satunya, tak jarang sektor UMKM mengalami kendala di bagian ini dalam menjalankan roda bisnisnya. Menurut laman umkmnews.com hal itu terjadi karena persyaratan peminjaman yang diberlakukan perbankan seperti tingginya suku bunga yang dibebankan hingga mencapai 22% maupun laporan keuangan sebagai salah satu syarat peminjaman sulit dipenuhi UMKM yang tak jarang menjadi pengungkung UMKM dalam mendapatkan tambahan modal opersionalnya. Terkait dengan laporan keuangan yang belum bisa dibuat oleh keseluruhan sektor UMKM, pemerintah perlu mengedukasi karyawan bagian keuangan UMKM dengan menggelar pelatihan gratis pembuatan laporan keuangan untuk usaha kecil menengah baik itu melalui cara manual maupun dengan menggunakan software di UMKM yang diselenggarakan secara konsisiten dan berkesinambungan tujuannya agar UMKM mudah memperoleh dana dari pinjaman lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan mikro misalnya koperasi maupun dari investasi dari para investor yang tertarik pada produk yang ditawarkan UMKM tersebut sehingga UMKM dapat mengatasi permasalahan klasik permodalan yang selalu dihadapi.
Pelatihan–pelatihan lain seperti pelatihan membaca peluang pasar, penggunaan teknologi dan e-commerce, dan lain-lain, seyogyanya juga harus gencar diselenggarakan baik secara langsung maupun dimediasi oleh pihak pemerintah guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pelaku UMKM agar aktor penggerak bisnis ini dapat mentransformasikan kekayaan intelektual, keunggulan bahan baku serta peluang pasar ke dalam produk sehingga menghasilkan produk yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan value added yang khas dari produk tersebut yang membuatnya unggul dibandingkan produk-produk lain yang sejenis.
Produk-produk khas yang berstandar SNI tersebut nantinya akan membuat UMKM Indonesia dapat meningkatkan kontribusinya sebagai rantai pemasok global (global value chain) yang menurut data yang ada hanya sebesar 6,3% kontribusi yang jauh dibawah UMKM milik negeri jiran, Malaysia yang menembus 46,2% disusul Thailand 29,6%, Vietnam 21,4% dan Filipina 20,1% (medanbisnisdaily.com). Minimnya kontribusi UMKM di dunia internasional seperti yang diberitakan bisnis.com dikarenakan pelaku UMKM Indonesia masih banyak yang belum tahu mekanisme administratif dan prosedur untuk menembus pasar ekspor ditambah kurangnya promosi yang dilakukan UMKM untuk mensounding-kan produk-produknya. Untuk mengatasi hal tersebut pelaku UMKM sangat dihimbau untuk mengikuti program seperti program dari Kementerian perdagangan yakni layanan satu pintu costumer service center dan Designer Dispatch Service (DDS) maupun program lain seperti yang digagas perusahaan Fortune PR bersama dengan asossiasi binis BISA (Business Indonesia Singapore Association). Dimana Fortune PR dan BISA menyediakan layanan kantor bersama dan solusi pemasaran luar negeri yang memberikan edukasi mengenai branding dan marketing bagi pelaku UMKM agar UMKM Indonesia tak sekedar memenangkan persaingan di pasar domestik dan mampu bersaing di pasar dunia.
Untuk pelatihan marketing, pelatihan bisnis online atau e-commerce sangat membantu UMKM dalam hal promosi produk dengan cost yang relatif murah berjangkauan luas karena kecanggihan teknologi membuat profil bisnis, deskripsi produk bahkan pembelian online dapat di lakukan oleh siapa saja dari negara manapun tanpa terhambat batas geografis yang akan meningkatkan pendapatan penjualan.
Seperti beberapa pengusaha UMKM berikut yang terbilang sukses menduniakan produk bisnisnya. Reza Nurhilman atau akrab disebut ALX, pemuda kelahiran Bandung yang merupakan founder maichi kripik berbahan dasar singkong, salah satu makanan asli Indonesia yang launching pada tahun 2010. Awal pemasaran snack singkong maichi berlevel kepedasan dari 1-10 menggunkan sistem Cash on Delivery (COD) yang kala itu maichi langsung diantar ke para pembelinya. Seiring bisnis yang menguat, ALX mulai mulai memasarkan maichi untuk calon konsumen di luar bandung menggunakan media twitter @infomachi, website http://www.maicih.com serta jasa para jenderal sebutan untuk agen penjual maichi yang dengan keunikan produknya berhasil menjelma menjadi jajanan fenomenal di paris van java yang setelah itu tersebar secara ekslusif ke seluruh penjuru nusantara. Kini kripik singkong bermascot ibu-ibu berkonde bertagline for ichier with love ini telah berkespansi ke negeri tetangga singapura dan negeri sakura, Jepang. Tidak sampai 10 tahun sejak bisnis ini berjalan ALX sang owner maichi yang menitik beratkan efisiensi, memanfatakan teknologi internet berhasil meraup omset hingga mencapai 1 miliar rupiah per bulannya.
Bisnis kuliner lain yang juga memanfaatkan e-commerce adalah just mine pisang ijo di bawah naungan CV. Ezka Giga Pratama yang di pelopori oleh Reizka dan suaminya Erwin Burhanudin dengan modal awal 2 juta rupiah yang perdana dimulai tahun 2007 lalu. Pisang ijo just mine dibuat dengan bahan dasar pisang ijo, pisang asal Makassar yang dibungus terigu berwarna hijau pandan yang dibalur dengan fla aneka rasa seperti vanilla cokelat, keju dan durian. Fla dan balutan terigu membuat pisang ijo just mine memiliki cita rasa yang khas. Selain rasa, keunikan lain dari pisang ijo just mine adalah penjualan pisang ijo ini dapat dilakukan oleh masyarakat luas karena Riezka dan suaminya memberlakukan sistem waralaba untuk penjualan produknya. Untuk cita rasa di outlite waralaba bisa dipastikan serupa dengan rasa kuliner pisang ijo buatan Reizka karena calon penjualn di-training langsung oleh sang owner dari mulai proses pemilihan bahan baku, pencampuran, proses pembuatan hingga pengemasan / packaging. Disamping itu sang owner juga gencar memasarkan produk dan penjualan waralabanya di media website di laman pisangijo.com. Yang mana didalam website-nya tersedia profil bisnis, akses pembelian virtual produk, juga informasi jika ingin menjadi mitra waralaba dari bisnis milik Reizka dan suaminya. Dimana hingga saat ini outlet waralaba pisang ijo yang sudah berdiri sebanyak 280 outlet dari seluruh penjualan baik melalui online maupun outlet omset yang diperoleh sebesar 850 juta rupiah.
Ada juga Pebisnis dari ranah bisni lain yakni fashion seperti Andina Nadia yang menggeluti bisnis sepatu lukis bermerk slight launching pada 2008 silam dengan modal awal sebesar 1 juta rupiah menggunakan e-commerce dengan situs http://www.slightshop.com dalam menjalankan bisnisnya. Situs tersebut digunakan untuk memasarkan, menjual produk serta menyediakan peluang untuk konsumen yang ingin menjadi agen penjual atau ressseler produknya. Produk sepatu slight yang terbuat dari bahan baku yang berasal dari salah satu home industry di kota Bandung kemudian diberi sentuhan kreatifitas lukisan tangan unik dan menarik sang owner menjejakkan sepatu ini hingga beberapa negara ASEAN. Buah kreatifitas yang menghiasi sepatu tersebut membuat sepatu slight dihargai cukup mahal oleh pasar dari rentang 110 ribu – 265 ribu/ pasangnya. Saat ini keuntungan yang diperoleh Andina mencapai 22 juta per bulannya.
Jika dalam kurun waktu kurang lebih 7 bulan menjelang pemberlakuan resmi AEC para pelaku dari mulai owner hingga karyawan UMKM mengikuti jejak pemasaran beberapa pengusaha di atas, serta ulet meningkatkan keunikan, kekhasan produknya dan gencar menambah pengetahuan dengan mengikuti berbagai pelatihan / program maupun menggelar pelatihan peningkatan kualitas SDM serta dibarengi konsistensi dalam peningkatan standar mutu, kemasan maupun cara promosi dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi maka kelak di akhir tahun ini saat AEC tergelar UMKM Indonesia menjadi tuan rumah negerinya sendiri dan bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri di pasar internasional.
Penulis adalah Yossi Annisa, Mahasiswi Universitas Negeri Medan (Unimed). Tulisan ini merupakan karya peserta Olimpiade Menulis 2015 yang digelar Forum Pemuda Bangun Negeri (FPBN).