Cita-cita kita yang paling tinggi pastilah meraih kebahagiaan abadi tanpa akhir, yakni kehidupan abadi di surga ilahi.
Jalan yang ditempuh untuk meraih cita-cita itu adalah Taqwa.
Ada dua rukun taqwa:
1. Melakukan Kebaikan
2. Menjauhi Keburukan
atau dalam kalimat lain:
1. Melakukan semua yang dicintai dan diridhai Allah SWT. Singkatnya melakukan ibadah dan amal shaleh.
2. Menjauhi semua yang dibenci dan dimurkai Allah SWT. Singkatnya Menjauhi Dosa & Maksiat.
***
Terkait ini ... ada hal menarik yang sepertinya patut kita renungkan ...
... yaitu, ternyata dalam menerapkan kedua rukun taqwa ini, manusia pun terbelah dalam dua kelompok, dua model, dua konsep, dua paradigma beragama.
1. Paradigma beragama yang mana ia lebih fokus pada ibadah ritual
... seperti mendirikan salat, mengeluarkan zakat, menjalankan puasa, mengerjakan ibadah haji dan umrah; ditambah dengan berzikir, shalat malam, baca Al-Quran, bayar infak, hadir di pengajian, dan sejenisnya.
.... namun sedikit agak mengabaikan urusan dosa dan perbuatan buruk.
Yang lebih banyak menjadi titik perhatiannya adalah amal dan ibadah ritual.
Tentang dosa, ia berpegang pada "keyakinan di bawah sadar" bahwa amal dan ibadah itu bisa menghapus dosa. Jika timbangan amal lebih banyak dari dosa, maka ia yakin masuk sorga.
Karena itu melakukan amal dan ibadah ritual adalah fokus utama hidupnya.
Mereka menjadikan amal sebagai "tiket" masuk surga.
Padahal yang tidak banyak mereka sadari ... amal ibadah yg bisa menghapus dosa itu adalah jika amal itu diterima oleh Allah SWT.
Masalahnya, apakah kita bisa yakin amal ibadah kita pasti diterima Allah? Kalau tidak, bagaimana?
2. Paradigma kedua adalah orang yang Lebih Fokus untuk Menjauhi Dosa dan Perbuatan Buruk dalam semua amalnya.
Termasuk dalam pelaksanaan ibadah-ibadah ritual dan amal shaleh nya.
Misalnya, menjaga shalatnya agar jangan sampai termasuk orang yg lalai dan riya'.
Atau menjaga puasanya agar tidak tercemari oleh noda, maksiat dan dosa, sehingga puasanya hanya tercatat sebagai orang yang hanya menahan lapar dan haus saja, tanpa mendapat pahala puasa.
Atau menjaga lisan (perkataan dan tulisan) yang mungkin akan menyakiti orang lain.
Atau yang menjaga sikap & perbuatannya agar tidak sampai mengambil hak-hak orang lain tanpa sadar, yg membuat orang "menangis" karena hak nya terzalimi.
Atau menjaga mata dari pandangan yang haram dan maksiat. Menjauhi transaksi riba dalam bermuamalah atau berbisnis.
Atau menjaga memakan makanan yg haram baik obyeknya ataupun sumbernya.
Atau menjaga rezekinya dari hal-hal yg syubhat/meragukan apalagi yg haram, dsb, dsb, dan sebagainya.
***
Pertanyaan pentingnya adalah: dari kedua paradigma itu, mana yang lebih baik? Mana yang harus didahulukan?
Meminjam nasehat Ali bin Abi Thalib ra:
“Ijtinâb as-sayyi'ât aulâ min iktisab al-hasanât.
"Menjauhi keburukan harus didahulukan dari melakukan kebaikan."
Jadi yang lebih utama, lebih Afdhal, lebih baik adalah: Lebih Fokus pada Menjauhi dosa & keburukan.
Allah SWT memperingatkan, dalam Qur'an Surat Muhammad ayat 33:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusak (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)
Rasulullah saw juga mengingatkan, ibadah sambil makan yang haram seperti mendirikan bangunan di atas pasir atau air.
Atau dalam riwayat lain, "Akhlak yang buruk merusak amal seperti cuka merusak madu."
***
Jika direnungkan ungkapan diatas secara seksama, kita jadi lebih bisa memahami berbagai fenomena anekdot yg terjadi di sekitar kita.
Misalnya, kok ada orang yang rajin shalat dan puasa, tapi ia juga ringan melakukan korupsi, memanipulasi data dan mengambil hak orang lain bahkan hak keluarganya.
Atau mengapa ada agamawan yang tentu tahu ilmu agama tapi malah tidak segan-segan melakukan perbuatan asusila, atau menggunakan uang ummat untuk memperkaya dirinya.
Banyak masyarakat heran bahkan kemudian skeptis terhadap agama karena adanya fenomena seperti itu. Dianggapnya agama kok tidak berhasil membuat manusia jadi orang baik.
Mengapa shalatnya tidak berhasil mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (seperti yg dijanjikan Qur'an)?
Mungkinkah karena shalat-shalatnya itu tidak diterima? Sehingga menyebabkan mereka bisa seenaknya melakukan berbagai dosa & maksiat itu ...
Sambil tetap shalat .. tapi maksiat juga jalan terus ...
Mungkin saja ... diantara mereka ada yang percaya bahwa amal-amal salehnya, terutama ibadah-ibadah ritualnya, bakal bisa menghapus dosa-dosa itu.
Mereka memiliki paradigma beragama bahwa amal ibadah ritual itu menghapus dosa. Karena itu fokus keberagamaannya adalah melakukan ibadah ritual.
Mereka yakin bahwa puasa, haji, zikir, salat, baca Al- Quran, dan doa-doa akan menghapuskan dosa-dosa di masa lalu dan juga masa yang akan datang.
Jadi seolah dalam bawah sadarnya ada keyakinan halus: berbuat dosalah, lalu putihkan dengan ibadah sebanyak-banyaknya. Berbuat maksiatlah, nanti bersihkan dengan istighfar yang banyak.
Inilah paradigma keberagamaan yang cukup populer ternyata ... mungkin tanpa kita sadari.
Maka, agama pun akhirnya menjadi pameran amal-amal shaleh, bahkan juga jadi pembenaran dan penghibur bagi para pelaku dosa & kezaliman. Nauzubillah!
Padahal ... betapa banyak hadits Rasulullah saw yg memperingatkan bahwa ibadah dan amal shaleh itu justru "terbakar" hancur akibat dosa-dosa yang ia lakukan.
Terkait hal ini, cukuplah peringatan Allah SWT ini kita jadikan pegangan:
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu, sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil.
Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al-Baqarah: 266)
Ibnul Qayyim menjelaskan, “Allah ta’ala mengingatkan orang yang berakal tentang bahayanya dosa dan perbuatan buruk yang bisa merenggut pahala kebaikan; dengan permisalan orang yang sudah tua yang memiliki keturunan yang masih kecil-kecil yang dikhawatirkan akan nasib mereka dan dirinya. Satu-satunya harta yang dia punya adalah kebun yang berisi buah-buahan yang sangat disenangi dan diharapkan masa panennya.
Namun tiba-tiba datang angin besar berapi menyambar kebun tersebut dan membakar seisi kebun beserta semua buah-buahan yang ada di dalamnya.
Maka Allah mengingatkan bahwa dosa dan kemaksiatan itu ibarat api yang merenggut kebaikan atau kebun dalam permisalan ini.”
Beliau (Ibnul Qayyim) melanjutkan, “maka andai orang yang berakal mau memikirkan permisalan di atas dan menjadikannya celupan dalam hatinya, itu sudah cukup baginya dan akan mengobatinya (dari berbuat dosa).
Demikianlah, manakala ia berbuat ketaatan kepada Allah lalu diikuti dengan perbuatan yang merusaknya berupa maksiat dan dosa, itu ibarat angin besar membawa api yang membakar perkebunan yang sudah sejak lama ditanami dan dipelihara.
Maka orang yang sudah tahu efek dosa dan maksiat seperti di atas, namun masih melakukannya, dia adalah orang yang dungu. Dan setiap orang yang bermaksiat kepada Allah adalah orang yang dungu,” kata Ibnul Qayyim.
Tentunya kita tidak ingin dikatakan dungu karena merusak kebun kebaikan kita sendiri yang sudah kita rawat dan siangi selama ini.
Jangan sampai ... semua amal ibadah dan amal shaleh kita hancur lebur tak tersisa.
Jika itu terjadi, lalu apalagi yg bisa kita andalkan untuk meraih surga?
***
Karena itu mari kita switch paradigma kita untuk lebih fokus pada paradigma "menjauhi dosa" dalam setiap perbuatan kita.
Doktrin kita adalah: Dosa-dosa yang dilakukan bisa menghapus pahala ibadah dan amal saleh kita.
Kita selalu ingati diri kita bahwa menyakiti orang akan menghilangkan pahala puasa, haji, zikir, baca Al- Quran dan doa.
Makanan yang haram akan menghilangkan dampak positif shalat.
Paradigma beragama inilah yang akan mendidik kita menjadi manusia taqwa.
Merasa Diri Selalu Berdosa
Banyak pahala kebaikan lenyap karena dosa besar. Namun jarang disadari, bahwa meremehkan dosa kecil dan terus-terusan melakukannya juga akan menghapus berbagai pahala.
Rasulullah mengingatkan, “Janganlah kalian meremehkan dosa ... Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu dapat membinasakan pelakunya saat ia dihisab” (HR. Ahmad)
Maka karena itu merasa diri selalu berdosa adalah kunci melestarikan pahala kebaikan kita dan agar selamat di dunia dan akhirat.
Sebaliknya, merasa bahwa diri telah banyak beramal sehingga jadi meremehkan dosa, inilah yang menjadikan pahala kita lenyap dan membuat kita celaka.
Abu Ayub Al-Anshori berkata," Sesungguhnya seseorang melakukan amal kebaikan dan terlalu percaya diri dengannya lalu meremehkan dosa-dosa, maka dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan diselimuti dosa.
Dan sesungguhnya seseorang yg melakukan keburukan dan terus merasa takut, maka ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan selamat.”
***
Jadi mari kita fokus mensucikan jiwa dan hati kita dengan sikap wara'. Selalu berhati-hati.
Ibarat meniti jalan penuh duri .... kita pasti berhati-hati dalam setiap langkah. Itulah esensi atau hakikat taqwa.
Mari kita fokus mengaktifkan "indera kewaspadaan" kita.
Waspadai setiap kata, sikap dan perbuatan kita ...
Waspadai setiap ibadah shalat, puasa, sedeqah, tilawah Qur'an dan doa kita ... jangan sampai sia-sia belaka.
Waspadai setiap hak-hak orang lain, jangan sampai ada yg terzalimi.
Waspadai setiap amal kita.
Semoga Allah SWT memudahkan kita menjalani sisa hidup ini dengan penuh kehati-hatian. Amin ya Allah ya Rabbal Alamiin. [NI]