Republikmenulis.com -- Termez, kota yang sekarang masuk wilayah Uzbekistan, berabad-abad lalu pernah melahirkan tokoh yang hingga kini namanya dikenal di seluruh dunia sebagai tokoh besar penjaga dan pelestari agama Islam, Imam At-Tirmidzi. Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin al Husain al Hakim at Tirmizi, lahir dari seorang ayah bernama ‘Isa. Tidak ada data pasti tahun berapa ia lahir. Menurut Dr. Nuruddin, berdasarkan hitungan matematis, memperkirakan tahun lahirnya adalah 209 H.
Ia diusir
dari kota kelahirannya dan mengungsi ke Nishapur dan memberikan
cermah-ceramahnya.-
Karya-karyanya yang bersifat psikologi sangat mempengaruhi Al Ghazali, sedang teorinya yang menghebohkan mengenai “ MANUSIA SUCI” diambil dan dikembangkan Ibn Arabi.
At Tirimizi adalah seorang jenius, penullis kreatif dan memiliki kemampuan mengingat dan menghafal.
Semasa
kecil At Tirmizi sudah gila ilmu. Suatu ketika bersama dua sahabatnya memutuskan
hendak mengembara menuntut ilmu.- Ibunya yang mendengar anaknya hendak
berangkat, sangat sedih sekali.
“Wahai buah hati ibu”, berkata ibunya. “Aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila ananda pergi tak ada lagi seorangpun yang ibu miliki di dunia ini. Selama ini kepada anandalah tempat ibu bersandar. Bila kini ananda pergi maka kepada siapa ananda akan menitipkan diriku yang sebatangkara dan lemah ini?”
Kata-kata ini menggoyahkan semangat at Tirmizi, ia membatalkan niatnya sementara kedua kawannya melanjutkan pengembaraannya mrantau menuntut ilmu.
Suatu hari at Tirmizi duduk duduk disebuah pemakaman meratapi nasibnya.
“Disinilah aku. Tiada seorangpun yang peduli kepadaku yang bodoh ini. Sedang kedua sahabatku nanti kelak akan kembali sebagai orang-orang terpelajar dan berpendidikan sempurna”.
Tetiba muncul seorang tua dengan wajah berseri-seri. Ia menegur at Tirmizi.
“Nak mengapa
engkau menangis..?”
At Tirmizi
menceritakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah
engkau menerima pelajaran dariku setiap hari sehingga engkau dapat melampaui
kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat?” Orang tua itu bertanya kepada at
Tirmizi.
“Aku bersedia” jawab at Tirmizi. “Maka” at Tirmizi megisahkan “Setiap hari ia memberikan pelajaran kepadaku. Setelah tiga tahun berlalu barulah aku menyadari bahwa orang tua itu adalah Nabi Khidhir dan aku memperoleh keberuntungan seperti itu karena telah berbakti kepada Ibuku”.
Terbukti
Kelak dikemudian hari kecakapan dan ketinggian pengetahuan Imam at Tirmizi mengungguli
kedua sahabatnya.
Beberapa ulama besar yang menjadi gurunya adalah Ishaq bin Rahuwaih, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abdullah Ad-Darimi, Muslim, Abu Dawud, dan Al-Bukhari, nama terakhir ini menjadi guru paling berpengaruh bagi At-Tirmidzi.
Ia belajar
pada imam besar itu dalam kurun waktu yang lama. Begitu berpengaruhnya
Al-Bukhari dalam membentuk karakter At-Tirmidzi yang saleh dan wira’i serta
keilmuan yang dalam, hingga Nuruddin ‘Itr mengatakan bahwa At-Tirmidzi bagaikan
fotokopi dari Al-Bukhari. Ia memang khalifah (penerus) sang maha guru tersebut.
Al-Hafizh ‘Umar bin ‘Allak mengatakan: “Al-Bukhari telah wafat, ia tidak
meninggalkan penerus/murid lain yang selevel At-Tirmidzi dalam hal ilmu,
hafalan, wira’i, dan zuhud. Ia menangis sampai buta.”
Kepadanya,
ia belajar banyak ilmu, khususnya fiqhul hadits dan ‘illat hadits. Ia bercerita
mengenai kehebatan gurunya itu:
“Di
seantero Iraq dan Khurasan, aku tidak melihat ada orang yang lebih tajam
ilmunya dari Al-Bukhari mengenai ‘illat, tarikh, dan sanad.” Kedua guru
dan murid ini sering berdiskusi. Al-Bukhari pun mengakui kehebatan muridnya
tersebut, ia meminta muridnya itu meriwayatkan hadits padanya. Ia pun dengan
kerendahan hati berkomentar:
“Apa yang
kuambil darimu lebih banyak daripada apa yang kau ambil dariku.”
Mengenai
kekuatan hafalannya, ada satu cerita menakjubkan yang ia kisahkan sendiri,
seperti yang dikutip Ad-Dzahabi. Suatu ketika di salah satu jalan kota
Makkah, dia bertemu seorang syekh (guru hadits). Ia pernah mencatat
hadits-hadits dari jalur syekh tersebut melalui perantara orang lain. Maka pada
saat bertemu, ia langsung menghampirinya dan memintanya meriwayatkan
hadits-hadits secara langsung kepadanya. Saat itu, ia membawa buku
catatan yang ia kira adalah buku yang sebelumnya ia gunakan untuk mencatat
hadits-hadits dari syekh tersebut, sehingga ketika syekh tersebut meriwayatkan
hadits, ia membuka buku catatannya. Ternyata salah buku, yang ia bawa buku yang
masih kosong. Hal itu lalu diketahui syekh tersebut.
Ia menegur At-Tirmidzi, “Apa kau tidak malu padaku? (Karena meminta hadits tanpa membawa catatan)”. Lalu At-Tirmidzi menjelaskan alasannya dan menjawab, “Tapi aku hafal semua hadits yang baru saja Anda sampaikan”. Syekh tersebut kemudian menyuruhnya mengulangi hadits-hadits yang baru saja ia sampaikan, At-Tirmidzi pun mengulanginya dengan lancar. Sang syekh yang seolah tak percaya dengan kemampuan hafalan yang luar biasa itu kemudian berkata “Kau sudah mempersiapkan hafalan ini?”. “Coba berikan aku hadits lain” jawab At-Tirmidzi. Syekh tersebut lalu menyampaikan 40 hadits lagi, dan setelah selesai, 40 hadits itu diulangi oleh At-Tirmidzi tanpa salah satu huruf pun.
Tentang
kitab Sunan-nya, ia dengan penuh percaya diri mengatakan:
صنفت
هذا الكتاب وعرضته على علماء الحجاز والعراق وخراسان فرضوا به، ومن كان هذا الكتاب
في بيته فكأنما في بيته نبي يتكلم
Artinya: “Aku menyusun kitab ini dan aku sodorkan pada para ulama Hijaz, ‘Iraq, dan Khurasan, mereka pun memberi restu. Barangsiapa di rumahnya ada kitab ini, maka seolah di rumahnya itu ada seorang nabi yang berbicara.”
At-Tirmidzi
mengalami kebutaan di akhir usianya, seperti yang diceritakan ‘Ibn ‘Allak di
atas, ia wafat di kota kelahirannya pada tanggal 13 Rajab 279 H.
(Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, juz 13, halaman 273-274).
Penulis adalah Adjinur Halidin, Pemerhati Sosial dan Pendidikan.