KATOBA: Doktrin Membangun Karakter dan Keshalehan Melalui Prosesi Sunat Atau Pengislaman di Masyarakat Wuna

rm
0


Katoba, berasal dari kata “toba” yang bermakna “penyesalan”.- Tradisi katoba dilaksanakan setelah seorang anak melaksanakn tradisi “kangkilo” (sunatan secara tradisonal).- Tradisi katoba merupakan ritual masyarakat Wuna yang mengandung ajaran pendidikan karakter dan tata cara interaksi sosial untuk membentuk karakter masyarkat dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islami.

Nasehat penting dalam pelaksanaan tradisi katoba yaitu dososo (menyesal), dhobotuki (memutuskan), dofekakodoho (menjauhkan), dan dofekomiinahi (menolak untuk mengulangi).- Masyarkaat Wuna mengawalli tradisi katoba melalui serangkaian prosesi Islamisasi dan dan akulturasi nilai-nilai fundamental suku Wuna dengan nilai-nilai Islam. Pelaksanaan tradisi katoba peraama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Wuna XIII (1671 – 1716) yatiu Raja La Ode Abdul Rahman yang bergelar Sangia Latugho. Sejak saat itu, tradisi katoba terus berkembang, dan tetap dipertahankan serta hidup di tengah-tengah maasyarakat Wuna Sulawesi Tenggara.[1]

Katoba juga berasal dari kata "toba” berasal dari bahasa Arab yakni taubah yang berarti menyesal atau taubat. Secara harfiah taubat disini dapat berarti menyesali segala perbuatan buruk yang pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali di kemudian hari.

Ritual katoba ini secara adat bagi sebagian besar masyarakat suku Wuna merupakan hal "wajib" untuk dilaksanakan bagi anak yang telah memasuki usia akil baliq, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dan seringnya upacara atau ritual katoba ini dirangkaikan dengan selesainya anak dikhitan atau disunat.[2]

Bagi Masyarakat Wuna anak-anak yang berusia 7-12 tahun setelah melakukan khitan harus diikuti dengan ritual katoba, sebagai bentuk legitimasi adat untuk memberikan "fondasi akhlak" bagi anak dengan menanamkan nilai-nilai adat, budaya dan agama bagi anak agar dijunjung tinggi dan diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa nanti. Nilai-nilai yang ada dalam tuturan ritual katoba adalah nilai-nilai ketuhanan, nilai ketaatan untuk beribadah kepada Tuhan dan menghargai hubungan antar manusia dan juga dengan alam.

Nasihat-nasihat dalam ritual katoba mengandung kearifan lokal yang bernilai universal, seperti moasiane, mooloanda ‘sayangi, lindungi;. Selaras dengan materi pendidikan berbasis kebudayaan dalam perspektif agama Islam, yakni saling menghargai, menghormati, peduli sesama. Materi pendidikan berbasis kearifan lokal bukan untuk menyemai bibit-bibit primodialisme, wawasan sempit kedaerahan, melainkan untuk memupuk kemampuan agar memiliki daya tahan, daya saing, daya kreatif, daya integratif, dan daya inovatif dalam membangun karakter bangsa.[3]

Prosesi KATOBA

Rangkaian ritual katoba dimulai dari tahap persiapan ritual yang disebut gholeono metaa (menentukan hari baik), yang dilakukan oleh “orang tua” yang disebut pande kutika, yaitu “orang tua” atau tokoh yang dianggap mengetahui tentang hari-hari baik dan tahu cara menetapkannya.

Prosesi tradisi katoba sebagai pembentuk karakter anak pada masyarakat Wuna terdiri dari 3 tahapan yaitu:

1.        Tahap pra – katoba, yang dimulai dengan menentukan hari baik dan ali kita,

2.        Tahap prosesi katoba yang dimulai dengan :

a)        Pembukaan,

b)        Dofotoba,

c)         Mendengarkan petuah katoba yang berisi ungkapan lansaringino, ungkapan haku-naasi, dan ungkapan menjaga keseimbangan hubungan alam dan lingkungan.

3.        Pasca katoba (pembacaan doa selamat). Makna yang terdapat dalam proses pelaksanaan katoba adalah dengan harapan anak yang di toba dapat memahami batasan etika, norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.[4]

Dalam prosesi pelaksanaan tradisi katoba terjadi interaksi verbal antara imamu dan anak. Interaksi verbal tersebut, selain tercermin melalui bahasa sehari-hari anak, hadir pula kemasan bahasa figuratif (figurative language). Pemakaian bahasa figuratif tersebut, selain untuk memudahkan pemahaman anak terhadap nasihat/pesan katoba yang disampaikan, juga untuk memberikan makna khusus atau efek tertentu.[5]

Pada prosesi tersebut, laki-laki didandani rapi dengan pakaian adat yang disesuaikan dengan golongan sosial anak tersebut. Golongan Kaomu berpakaian adat lengkap dengan keris layaknya seorang raja, sedangkan golongan maradika memakai pengikat kepala atau kopiah yang biasa dipakai oleh lakina agama. Untuk anak perempuan mengenakan pakaian adat lengkap dengan perhiasan keluarga (atau bagi yang tidak memiliki perhiasan keluarga, dipinjamkan dari orang lain). Mereka pun memakai bedak berwarna putih atau kuning muda, kemudian alis mereka dibentuk seperti bulan sabit, dan rambut yang berada di dekat telinga dipotong. Sebagai pemanis terakhir disematkan sebuah pena yang terbuat dari emas atau perak.

Proses Katoba dilangsungkan setelah anak-anak sudah dikhitan. Katoba pun juga dapat dilakukan setelah khitanan maupun di lain waktu setelahnya. Adapun hal-hal yang diajarkan dalam prosesi Katoba, yaitu :

a.       Mengucapkan dua kalimat syahadat.

b.  Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua laki-laki karena dianggap sebagai pengganti Allah SWT. Orangtua laki-laki yang dimaksudkan di sini bukan hanya ayah, melainkan semua laki-laki yang lebih tua.

c.   Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua perempuan (semua perempuan yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.

d.    Seorang anak harus menghormati dan menghargai kakak (semua orang yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti malaikat Jibril 

e.   Seorang anak harus menghargai dan menyayangi adik (semua orang yang lebih muda) karena dianggap sebagai pengganti seluruh kaum mukminin.

Selain kelima hal di atas, seorang anak yang menjalani prosesi Katoba diajari mengenai air-air yang suci (hujan, embun, sumur, laut, dsb), bagaimana menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Setelah itu, barulah seorang Imam membacakan doa setelah menyalakan dupa dan menyajikan sesajen. Sesajen tersebut tidak dimaksudkan untuk menyembah berhala, akan tetapi nantinya sesajen tersebut dimakan oleh anak-anak yang telah menyelesaikan prosesi Katoba.[6]

Lebih jelasnya lagi, bahasa figuratif (figurative language) dalam prosesi katoba sesungguhnya bernuansa transformasi literasi dari hati ke hati antara Imam dan anak (pelaku pertobatan) seperti nampak dalam ungkapan-ungkapan tradisi katoba yang dapat diuraikan sebagai berikut:[7]

Imamu{1} : Otumobadamo inie ‘Saya akan tobat anak-anak ini’ (a)

Anak : Uumbe ‘Iya’(b)

Imamu : Miina otumobaagho kamanusiaoomua ‘Saya tidak tobatkan diri kemanusiaan kalian’(c)

Anak : Uumbe ‘Iya’(d)  

Imamu : Otobagho sikadhi morimbi ‘Kamu tobatkan perlaku kalian yang salah’(e)

Anak : Uumbe ‘Iya’(f)

Imamu : Sikadhi humala ‘Perilaku yang keliru’(g)  

Anak : Uumbe ‘Iya’(h)

Imamu : Fotobanoa sikadhi kumantibha ‘Yang mentobat perilaku yang benar’ (i)

Anak : Uumbe ‘Iya’(j)  

Ajaran Moral Akhlaqul Karima[8]

Menjadi menarik sesunguhnya, inisiasi tuturan [1.a-j] di atas menunjukkan adanya hubungan non-linear dan bersifat doktrinatif agar tertanam kuat dalam alam bawah sadar si anak karena akan menjadi bekal baginya demi menghadapi masa dewasanya dikemudian hari.-

Dikala imamu meminta izin kepada orang tua si anak yang di-katoba bahwa prosesi katoba akan segera mentaubat anak yang akan di-katoba. Kemudian imamu mengatakan bahwa yang akan ditaubat bukanlah kamunusiaoomua ‘diri kemanusiaan kalian’ (e) tetapi yang ditaubat adalah sikadhi morimbi ‘perilaku yang salah’ (g), sikadhi humala ‘perilaku yang keliru’ (i), serta yang mentaubat adalah sikadhi kumatibha ‘perilaku yang benar’.

Pendidikan karakter yang tampak pada tuturan [1.a-j] adalah nilai harga diri seorang manusia. Bahwasanya, antara (imamu) dan anak yang di-katoba memahami diri mereka sebagai manusia biasa yang menempatkan diri mereka pada posisi yang saling mengingatkan dan menasihati.

Tampak sekali pada ungkapan yang bukan diri mereka sebagai manusia (secara fitrah adalah baik, suci), tetapi yang ditaubat adalah perilakunya. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki nilai harga diri, yang mengubah diri mereka baik dan buruk adalah perilakunya.

Imamu [2]  : Sarai maitu toba popaa ‘Syarat tobat ada empat’(a)  

Anak : Uumbe ‘Iya’ (b)

Imamu : Totolu ne lahataala ‘tiga ada pada Allah Swt’(c)  

Anak : Uumbe ‘Iya’(d)   

Imamu : Seise nemanusia bhainto ‘Satu ada sesama manusia’(e)  

Anak : Uumbe ‘Iya’(g)

Imamu : bhabhaano dososo ‘pertama menyesal’(h)  

Anak : Uumbe ‘Iya’(i)

Imamu : Maanano dososogho diunto humala nemanusia bhainto ne ompu lahataala ‘maknanya menyesali kesalahan kita pada orang kepada Allah Swt.’ (j)

Anak : Uumbe ‘Iya’(k)

Imamu : doruduagho dofekakodoho ‘Kedua yang dijauhi’(l) 

Anak : Uumbe ‘Iya’(m)

Imami : Fekakodohoemo diu humalano, pogau humalano ne manusia bhainto ‘Jauhilah perbuatan yang salah, perkataan yang salam sama orang lain’ (n)

Anak : Uumbe ‘Iya’(o)  

Imamu : Totoluno tobhotuki ‘Yang ketiga memutuskan’ (p)

Anak : Uumbe ‘Iya’ (q)

Imamu : Tobhotuki maitu paemo naembali orumabu diu tora amaitu ini ‘Memutuskan itu artinya tidak boleh lagi mengulangi perbuatanmu tadi’(r)  

Imamu : Popaano hakunasi, panaembali omefunae ‘Keempat hak orang lain. Tidak boleh kamu pikirkan’ hintu(t)  

Anak : Uumbe ‘Iya’(u)

Imamu : Ane damefunaa angha, lahae somekorupsino nagha.(v).

Mai setampu karoo panembali damalae, setampu deu, sehae maitu? (w)  

Odeu nopobheramu tamaka panaemblai omalae hintu ane pasoanu hakumu. (x)

Otumanda-tandai eemu nagha elae`. ‘Kalau dipahami itu, siapa yang melakukan korupsi. Biar sepotong siri tidak boleh diambil, sepotong jarum, berapa itu? Jarum sudah patah tetapi tidak boleh kamu ambil kalu bukan hak kamu. Kamu ingat-ingat itu. (y)

Anak : Uumbe ‘Iya’(z)  

Berdasarkan ungkapan [2a-z] di atas menunjukkan bahwa syarat toba yang harus dipatuhi anak, yakni terdiri atas empat, yakni :

(1). Dososo ‘menyesal’, artinya menyesali segala perbuatan pada manusia lain kepada Allah Swt.. Semua jenis perbuatan yang menyakiti hati orang lain segera minta maaf kepada Allah Swt. Perbuatan ‘diu’ yang salah, misalnya perkataaanmu yang menyinggung perasaan orang lain, atau membohongi orang tuamu, atau teman-temanmu;

(2). Fekakodoho ‘jauhi’, artinya menjauhi diu humala ‘perbuatan yang salah’, pogau humala ‘perkataan yang salah pada orang lain’;

(3) Bhotuki ‘putuskan’, artinya sudah tidak mengulangi perbuatan (yang salah) tadi. Perbuatan yang salah pada Allah Swt., kesalahan pada manusia lainnya, perkataan, perilaku, mulai haru ini kamu kamu putuskan untuk ditinggalkan; dan

(4) Hakunaasi ‘hak orang lain’ . Hak orang lain tidak boleh diambil tanpa seizin pemiliknya.

Nilai karakter yang menonjol pada data tuturan [2a-z] di atas adalah pentingnya anak yang di-katoba jujur pada diri sendiri dan tidak mengambil barang orang lain meskipun sudah tidak berguna. Seorang anak yang di-katoba tidak dilarang untuk memikirkan hakunaasi ‘hak orang lain”. Sebab apabila seorang anak memahami hakunaasi ‘hak orang lain’ tidak akan ada yang korupsi ‘mengambil hak orang lain’.

Barang-barang yang tidak berharga, seperti setampu karoo ‘satu potong sirih’, setampu deu ‘jarung yang patah’, tidak berguna. Odeu nopobheramu tamaka panaemblai omalae hintu ane pasoanu hakumu ‘Jarum sudah patah tetapi tidak boleh kamu ambil kalu bukan hak kamu’.

Anak yang di-katoba dinasihati oleh imamu agar anak dalam melakoni kehidupannya jauh dari sifat-sifat tercela, tidak serakah, yang merupakan tipe manusia yang suka menjadi koruptor. Dalam konteks tradisi katoba dikenal dengan hakuanaasi ‘hak nahas/hak orang lain’ atau dikenal dengan hakuno manusia bhainto ‘hak manusia lain/hak orang lain’.

Hak-hak orang lain pada zaman dahulu dikelompokkan dari yang berharga hingga yang tidak berharga. Barang-barang yang berharga (mobhalano) adalah obulawa, ointan, omanikamu ‘emas, intan, berlian/manik-manik’. Larangan untuk mefuuna ‘berniat untuk mengambil barang tersebut) baik yang berharga maupun yang tidak berharga.

Barang-barang yang tidak berharga seperti setampu deu, sefue karoo, seghi bhea ‘Barang ini tidak berharga tetapi yang namanya hak miliknya oarng lain tidak boleh ada dalam pikiran kita’. Perilaku orang yang mengambil hak orang lain yang bukan haknya, digambarkan seperti tuturan nakoghuluha maitu. Tamaka sakukata hakuno manusia bhainto panaembali omefunae, ‘Yang kecil sepotong jarum, sepotong buah sirih, sepotong pinang. Barang ini tidak berharga tetapi yang namanya hak miliknya orang lain tidak boleh ada dalam pikiran kita’ Panembali omake hintu, panaembali omalaehitu ‘Tidak boleh kamu gunakan, tidak boleh kamu ambil’.-

Yang tidk kalah menarik adalah nasihat imamu yang memberitahukan pada anak mengenai siapa yang akan ditakuti, dan disayangi dalam hidup di dunia ini, yang terdiri atas keluarga inti, yakni ama atau kamokula moghane ‘ayah’, ina atau kamokula robhine ‘ibu’, isa ‘kakak’ dan ai ‘adik’.

Imamu[3] : Aitu, amoratoangkomu, sonimotehimu, sonimologhoomu, odumadi tedhunia ini. ‘Sekarang saya mau sampaikan yang kamu takuti, yang kamu sayangi, kamu hidup di dunia ini. (a) 

Anak : Uumbe ‘Iya’(b)

Dalam ajaran katoba keluarga inti ini harus ditakuti, seperti diuraikan lebih lanjut pada cuplikan data berikut ini.

Imamu[4]  : Kamokulamu moghane omotehie lansaringano lahataala, kamokulamu robhine omotehie lansaringano anabi muhamadhi, opoisaha omotehie lansarinagino malaikati, opoahiha(a).

Tanda-tandai nagha doasianda, dooloanda lansaringino mu’min ‘Orang tuamu laki-laki kamu takuti ibaatnya Allah Swt., orang tuamu perempuan ibaratnya Nabi Muhammad, kakak ditakuti ibaratnya Malaikat, adik ditakuti. Ingat-ingat itu adik disukai, disayangi ibaratnya mukminin’(b)

Anak : Uumbe ‘Iya’(c)  

Ungkapan [4a-b] di atas menggambarkan bahwa orang tua (laki-laki dan perempuan) harus diikuti, ditakuti, dihormati, dan dihargai. Bahkan, mengenai hal ini La Taena, dkk. (2017) mengungkapkan bahwa penggunaan lansaringino dalam nasihat katoba dimaknai ‘ibarat atau semisal’, jadi ayah tidak benar-benar menyamai atau menyerupai Allah, begitu pula ibu tidak benar-benar menyamai nabi Muhammad.

Allah Swt. tidak dapat bisa disamakan dengan hamba-Nya, demikian pula Nabi Muhammad tidak bisa disamakan dengan manusia biasa. Hanya saja masyarakat Muna menerangkan sesuatu dengan ibarat atau samsil. Konsep kosmologi masyarakat Muna yang melekatkan penciptaan pada sosok ayah dan kemanusiaan pada sosok ibu berhubungan dengan kepercayaan Tuhan pencipta yang bisa diindra dan tidak bisa diindra.

Masyarakat Muna menyebutnya sebagai Tuhan yang nyata. Nasihat untuk taat dan patuh kepada ayah, ibu, kakak, dan adik. Data tuturan [4] di atas merupakan pengenalan Allah, nabi, malaikat, dan mukmin yang masih abstrak. Kemudian, imamu mengenalkan kepada anak yang dikatoba dengan cara yang mudah dan dapat dijangkau pengetahuannya anak yang di-katoba. La Taena (2017) mengemukakan bahwa masyarakat Muna memandang bahwa pengenalan konsep-konsep tersebut pada anak dilakukan dengan pertimbangan kapasitas pemahaman dan pengertian anak masih sederhana, sehingga memerlukan penjabaran yang lebih konkret dan mudah dipahami.[9]

Penutup

Orang Wuna meyakini bahwa Agama (Islam) merupakan satu-satunya agama sekaligus sistem yang yang layak dijadikan pedoman hidup. Kelengkapan cakupan aspek-aspek kehidupan Islam (sebagaimana disebutkan seara rinci dalam al Quran) mencakup keyakinan, moral, tingkah laku, perasaan, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, militer / pertahanan keamanan dan perundang-unddangan.-[10]

Islam mengandungkonsep keyakinan paripurna bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan / Ilah, Dia Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, Tiada Mengantuk dan Tidak Pula Tidur. Sebagai panduan bagi seorang Muslim atas keyakinan ini, Allah swt menyatakan Diri-NYA untuk diyakini seperti dinyatakan dalam QS. Al Baqaarah : 255.-

Prinsip-prinsip keshalehan dan keutuhan keyakinan menurut Al Qur’an, oleh Suku Wuna dipegang erat sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditukar dengan apapun. Islam adalah Harga Mati. Konsep ini diimplementasi lewat Katoba. Mengapa harus katoba, karena katoba adalah sarana ideal mendelegasikan keyakinan dimulai dari masa baligh untuk ditransformasi menjadi tata-nilai dalam pergaulan ketika dewasa kelak.-

Proses transformasi nilai dan keluhuran adat berbasis pemahaman akan kebenaran Islam, oleh para tetua disajikan dalam bentuk narasi yang sederhana, mudah diingat dan menjangkau dikalbu yakni “Adhati Kosandigho Sara – Sara Kosandigho Kitabullaah”.- Breakdown motto diatas adalah “Hansuru hansuru badha sumano kono hansuru liwu, Hansuru hansuru ana liwu sumano kono hansuru adhati, Hansuru hansuru ana adhati, sumano tangka agama”.

Falsafah hidup orang Muna ini memiliki arti “Biar hancur badan asalkan daerah/kampung terjaga, Biar hancur daerah/kampung asalkan adat istiadat terjaga, Biar hancur adat istiadat asalkan agama (Islam) tetap tegak”.

Sejatinya setiap Mieno Wuna (Orang Muna) harus hidup dalam jiwa dan kebathinannya akan wasiat Lakilaponto pada saat memerintah Kerajaan Muna, menanamkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu:[11]

1.        Pobini-biniti kuli, (saling tengang rasa)

2.        Poangka-angka tau, (Saling harga-menghargai)

3.        Poma-masigho, (Saling sayang- menyayangi)

4.        Poadha-adhati. (Saling menghormati)..

Wassalaam

Bekasi, 10 Oktober 2023

(Penulis adalah Adjinur Halidin, Pemerhati Sosial dan Pendidikan)

 

KEPUSTAKAAN :

1.      Abdu Rauf Ode Ishak – Sejarah Tradisi Katoba di Kerajaan Wuna Pada Masa Pemerintahan Raja Muna XIII La Ode Abdul Rahman gelar Sangia Latugho;

2.      Chaerul Sabara - kompasiana.com/tradisi-katoba-di-Wuna-adaptasi-budaya-lokal-dan-ajaran-islam;

3.      Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;

4.      Hesti, Ahmad - Tradisi Katoba Pembentuk Karakter Anak Di Muna;

5.      Hadirman - Sejarah dan Bahasa Figuratif dalam Tradisi Katoba pada Masyarakat Wuna;

6.      Hardin (Kajian Budaya UNUD) – Katoba;

7.      Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;

8.      Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;



[1] Abdu Rauf Ode Ishak – Sejarah Tradisi Katoba di Kerajaan Wuna Pada Masa Pemerintahan Raja Muna XIII La Ode Abdul Rahman gelar Sangia Latugho;

[2] Chaerul Sabara - kompasiana.com/tradisi-katoba-di-Wuna-adaptasi-budaya-lokal-dan-ajaran-islam;

 

[3]Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;

[4]Hesti, Ahmad - Tradisi Katoba Pembentuk Karakter Anak Di Muna;

[5]Hadirman - Sejarah dan Bahasa Figuratif dalam Tradisi Katoba pada Masyarakat Wuna;

 

[6] Hardin (Kajian Budaya UNUD)Katoba;

[7] Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;

[8] Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;

 

[9] Ardianto, Rukmina Gonibala, Hadirman, Adri Lundeto - Nilai Pendidikan Karakter Bangsa Dalam Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna;

[10] Laode Muhammad Ramadhan - Muna; Agama (Islam) adalah Benteng Utama dan Terakhir;

 

[11] Wikipedia - Lakilaponto

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)