Republikmenulis.com -- Bukittinggi dikenal sebagai kota di Sumatera Barat yang menawarkan keindahan alam, dan kekayaan budaya, serta memiliki udara yang sejuk dan lingkungan yang nyaman, sangat layak untuk jadi pilihan berwisata. Bukittinggi adalah kota dengan perekonomian terbesar kedua, setelah Padang, di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data Dinas Koperasi, jenis usaha mikro menjadi tulang punggung perekonomian lokal di Bukittinggi. Hal ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bukittinggi 2024, yang menunjukkan bahwa sekitar 20% dari penduduk kategori Angkatan kerja aktif merupakan para pekerja yang berusaha sendiri atau wirausaha dimana sisanya tersebar menjadi bagian kecil meliputi: pekerja bebas, buruh, pekerja keluarga, karyawan tidak dibayar, dan lainnya.
Di balik keindahan Bukittinggi dan hiruk pikuk perekonomiannya, terdapat kisah menarik dari sosok wirausahawan muslim bernama Ahmad Fatir. Sebagai wirausahawan, beliau salah satu yang berhasil memadukan antara usaha sekaligus berdakwah. Fatir, panggilan akrabnya, merupakan warga asli dan berdomisili di Bukittinggi. Meskipun pendidikan terakhirnya adalah lulusan SMA. Nyatanya, ia mampu dan berani memulai bisnisnya dengan bermodalkan Rp5 Juta untuk mendirikan bisnis tekstil dan juga bordir. Berkat dukungan doa dan semangat dari keluarga dan juga temannya, ia berhasil masuk ke dunia usaha yang penuh dengan tantangan. Sebagaimana perjalanan bisnis pada umumnya, ada kalanya lancar dan kadang juga penuh hambatan. Awalnya, kegiatan usaha Fatir tidak berjalan dengan mulus, bisnisnya hampir gulung tingkar. Tapi alih-alih menyerah, Fatir menjadikannya sebagai pembelajaran, ia mulai memperbaiki kualitas produk dan pelayanan yang diberikan. Kualitas produk dan layanan yang prima membuahkan hasil yang gemilang dalam kurun waktu lima tahun, mengubah bisnis rumahan tersebut menjadi sebuah merek yang cukup dikenal, dengan 12 gerai dan tim yang beranggotakan lebih dari 70 orang.
Pencapaian finansial yang mencapai ratusan Juta per
bulan tidak membuatnya melupakan tanggung jawab sosialnya, justru memperluas
kegiatan keagamaannya seperti pengajian rutin, santunan anak yatim, dan program
pelatihan gratis bagi warga. Keuntungan materi justru dapat memperkuat komitmennya
terhadap ajaran Islam. Praktik bisnis yang dilakukan oleh Fatir
tersebut memiliki landasan ilmiah yang kokoh. Teori religiusitas dari Glock
& Stark (1968) mengidentifikasi lima komponen utama dalam kehidupan
beragama, yaitu: dimensi keyakinan, praktik ibadah, pengalaman spiritual, wawasan
keagamaan, dan implikasi kemasyarakatan. Sang pengusaha berhasil merealisasikan
seluruh aspek ini dalam kesehariannya melalui rutinitas tilawah Al-Qur'an di
pagi hari, pelaksanaan shalat sunnah dhuha, intensifikasi sedekah, serta pemanfaatan
platform bisnis sebagai medium dakwah. Perspektif ekonomi Islam menekankan
pentingnya sinkronisasi antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Firman Allah
dalam Surah Al-Qashash ayat 77 memberikan panduan: "Dan carilah pada
apa yang telah ianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi." Firman
Al-Qur'an ini mengonfirmasi bahwa kegiatan ekonomi tidak sekedar orientasi
material, tetapi instrumen untuk menciptakan kemaslahatan umum.
Kisah Ahmad Fatir ini menjadi
bukti nyata bahwa untuk mencari keuntungan dunia tidak harus melupakan akhirat,
dengan istilah lain, sinkronisasi
antara kepentingan duniawi dan akhirat sangatlah penting. Hal ini tercantum
dalam firman Allah dalam surat Al-Qasas ayat 77 yang memerintahkan kita berbuat
"Dan carilah (kebahagiaan) pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu
(akhirat), dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia."
Ayat Al-Qur'an ini menegaskan bahwa aktivitas ekonomi tidak hanya berorientasi
pada materi, tetapi juga merupakan instrumen untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi.
Bagi Fatir sendiri bisnis itu bukan hanya soal
keuntungan tetapi bagaimana kita mencari keberkahan. Ia memiliki prinsip hidup
sendiri yang layak untuk diikuti siapapun para wirausahawan lainya yaitu
"Hidup Berkah, Usaha Jaya". Ia percaya bahwa rasa kepuasan sejati
tidak datang dari laba bersih yang tercatat di akhir hari, melainkan dari
berkah yang diraih bersama. Prinsip ini bukan sekadar rangkaian kata-kata yang
harus dihafal; prinsip ini harus diterapkan sebagai standar sehari-hari. Ia
secara ketat menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip seperti menghindari
bahan baku berkualitas rendah oleh seluruh tim, transparansi dalam berinteraksi
dengan pelanggan, dan disiplin waktu berdasarkan etika kerja Islam. Ia masih
menyempatkan waktu setiap minggu dalam rapat koordinasi bisnis untuk
mengingatkan semua orang bahwa rezeki berasal dari Allah SWT dan bahwa
menjalankan bisnis hanyalah salah satu bentuk mengejar rezeki.
Dampak dari usaha Fatir juga sangat nyata, Dimana puluhan
orang pada akhirnya mendapat pekerjaan baru, dan setidaknya mengurangi angka
pengangguran di Bukittinggi. Perekonomian setempat juga turut berkembang dan
banyak dari UMKM lokal juga mengalami kemajuan karena menjadi pemasoknya. Semua
ini sejalan dengan maqashid syariah yang tertuang dalam hifz al-mal dan hifz
al-din adalah dua prinsip maqashid syariah yang memasukkan nilai-nilai Islam. Gambaran
yang paling lengkap dari poin penting maqashid syariah adalah mampu meningkatkan
pembangunan moral dan sosial yang dihasilkan oleh pengembangan bisnis.
Aspek keislaman dalam pengelolaan usaha Ahmad Fatir
ini sangat terasa. Sebagian keutungan usahanya ia alokasikan untuk zakat,
infak, dan sedekah. Ia juga menetapkan kebijakan wajib terseianya musholla di
setiap outlet agar tidak ada hambatan bagi karyawan untuk melaksanakan ibadah
shalat. Saat datang peringatan hari-hari besar Islam, ia mengajak seluruh tim
untuk terlibat dalam aktivitas sosial, seperti distribusi paket sembako dan
acara berbuka puasa. Praktik ini merupakan perwujudan sabda Rasulullah SAW:
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lainnya." Melalui strategi tersebut, usaha yang dipimpinnya tidak
semata-mata berfungsi sebagai badan usaha, namun juga menjadi pusat dakwah yang
menyebarkan nilai-nilai positif di komunitas. Para customer merasakan atmosfer
keberkahan, sehingga kepercayaan dan komitmen pelanggan mereka semakin menguat.
Ada beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran bagi
wirausahawan muslim lainnya. Pertama, Ketika usaha mulai berkembang, semangat
terhadap dakwah harus dipertahankan agar nilai berbagi tidak memudar di tengah kesibukan
operasional yang meningkat. Kedua, sistem pengelolaan keuangan sebaiknya
berlandaskan pada prinsip syariah yaitu dengan menghindari unsur-unsur seperti
riba, gharar, yang merupakan istilah untuk spekulasi tidak jelas, dan perjudian.
Ketiga, bisnis harus terus berinovasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Ini termasuk yang mampu mengubah menjadi strategi pemasaran digital dan
menerapkan sistem manajemen kontemporer. Keempat, institusi akademik dan
lembaga pemerintah diharapkan mampu mendukung serta bekerja sama secara
strategis untuk menyebarkan entrepreneurship Islami secara luas. Dengan
menerapkan tindakan ini, usaha dapat berkembang secara berkelanjutan sambil
memperkuat tujuan dakwah Islam di masyarakat.
Pada akhirnya, kisah Ahmad Fatir menunjukkan bahwa hubungan
antara misi dakwah dan aktivitas bisnis dapat dicapai melalui perencanaan yang matang
dan juga keinginan yang tulus. Dengan peningkatan dedikasi, kejujuran, dan
dukungan spiritual, usaha yang berkembang akan memiliki dampak positif yang
meluas, dan dakwah yang lebih aktif akan membentuk komunitas yang lebih
bermoral. Perpaduan kedua komponen ini menunjukkan bentuk nyata dari cita-cita
ekonomi pembangunan Islam: mewujudkan umat yang makmur secara ekonomi dan kokoh
dalam keimanan. Diharapkan dengan semakin banyaknya pengusaha muslim yang meneladani
hal ini, maka nilai-nilai ilahi akan menyebar ke perekonomian nasional dan
menjadikannya lebih kokoh. Lalu, bagaimana dengan perjalanan usaha anda? Apapun
itu, jangan lupa dengan prinsip dasar ala Ahmad Fatir: “Hidup Berkah, Usaha
Jaya”.
Kontributor: Dinda Nada Kamilah, mahasiswi STIS Al
Wafa. Editor: Finantyo Eddy