Bisnis Jamur Ala Alumni Pesantren

rm
0


Republikmenulis.com
— Pondok pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang hanya melahirkan para ustadz, kiai, dan pendakwah. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, alumni pesantren juga mampu merambah ke bidang lain, termasuk dunia bisnis. Hal ini membuktikan bahwa ilmu agama sama sekali tidak membatasi ruang gerak, tetapi justru memberi nilai tambah dalam berkarya.

Di pesantren, para santri dilatih untuk disiplin, jujur, bertanggung jawab, dan bekerja keras. Banyak program yang didedikasikan untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan para santri. Banyak kisah para alumni pesantren yang kini sukses menjadi pengusaha di berbagai bidang. Salah satunya adalah kisah nyata Adib Sa’dilah, yang akrab disapa Adib (31), seorang lulusan pondok pesantren asal Desa Jampet, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Ia sukses mengembangkan usaha jamur tiram. Kisahnya menjadi bukti bahwa seorang alumni pesantren pun dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, khususnya ekonomi Islam, melalui jalur wirausaha dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.


Adib memulai bisnis jamur tiramnya sejak tahun 2016. Motivasi utamanya adalah untuk membuktikan bahwa alumni pesantren tidak hanya mampu berdakwah, tetapi juga bisa menjadi pengusaha yang berdaya saing. Dengan semangat pantang menyerah, ia membangun usaha dari nol dengan mendapat bantuan modal dari orang tuanya, mempelajari proses budidaya jamur, hingga berhasil menemukan cara yang lebih efisien dibanding kompetitor lain. Latar belakang pendidikan pesantren menjadikannya seseorang yang tekun dan disiplin, yang kemudian tercermin dalam proses pengelolaan bisnisnya.


Dalam usahanya, Adib menggunakan metode yang terstruktur, mulai dari pencampuran bahan baku seperti serbuk gergaji halus, dedak, dan kapur bukit, kemudian dihaluskan menggunakan alat pencampur. Setelah itu difermentasikan selama satu malam, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik dan dilanjutkan dengan sterilisasi menggunakan uap panas selama delapan jam. Setelah selesai, bahan baku tersebut langsung diisi dengan bibit jamur tiram dan didiamkan selama kurang lebih 30–40 hari. Proses tersebut dinamakan inkubasi.


Hal yang membedakan usahanya dengan kompetitor lain adalah dari segi panen. Jika biasanya pengusaha lain membutuhkan waktu dua sampai tiga bulan untuk sekali panen, Adib mampu memanen jamurnya setiap bulan. Inovasi ini membuat usahanya lebih kompetitif di pasar karena mampu menjaga ketersediaan produk. Oleh karena itu, ia tidak hanya membangun usaha, tetapi juga menghadirkan efisiensi yang mendukung keberlanjutan bisnisnya.

Meski terlihat menjanjikan, usaha jamur tiram milik Adib juga memiliki banyak tantangan. Salah satunya, Adib harus menghadapi serangan hama seperti para petani lainnya, serta ketidakstabilan hasil panen yang dapat menyebabkan hilangnya pelanggan. Selain itu, Adib juga sering mengalami kendala dalam memperoleh serbuk gergaji halus karena harus memakai kayu yang lunak seperti kayu sengon, sedangkan di Bojonegoro kebanyakan hanya tersedia kayu jati. Karena itu, Adib harus mengambil bahan dari daerah lain seperti Pare. Namun, melalui manajemen yang baik dan pengalaman panjang, ia mampu mengurangi risiko tersebut. Sikap sabar dan konsisten yang ia peroleh dari lingkungan pesantren menjadi modal penting dalam menghadapi dinamika usaha. Hal ini selaras dengan prinsip Islam yang mengajarkan kesabaran (sabr) dan tawakal dalam setiap ikhtiar.


Kisah Adib dapat dianalisis dalam kerangka ekonomi pembangunan Islam. Al-Ghazali dan Al-Syatibi menekankan konsep maslahah (kemaslahatan), bahwa kegiatan ekonomi seharusnya membawa manfaat bagi banyak orang. Bisnis Adib mencerminkan nilai ini karena tidak hanya menguntungkan dirinya, tetapi juga mendukung perekonomian lokal dan memenuhi kebutuhan konsumen akan pangan sehat. Hal ini juga sejalan dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 10:

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”


Ayat ini menegaskan bahwa bekerja mencari rezeki adalah bagian dari ibadah.


Selain itu, teori pembangunan ekonomi Islam menurut M. Umer Chapra menekankan pentingnya pertumbuhan yang disertai keadilan sosial dan spiritualitas. Bisnis Adib tidak sekadar mengejar keuntungan, tetapi juga menjaga stabilitas suplai bagi pelanggan dan membuka lapangan pekerjaan. Dengan demikian, usahanya sejalan dengan gagasan Chapra bahwa pembangunan dalam Islam harus menyatukan aspek material dan moral. Pandangan ini juga sejalan dengan QS. Al-Baqarah ayat 275 yang menegaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, sehingga usaha yang dilakukan Adib tergolong usaha halal yang membawa keberkahan.


Kisah Adib juga sejalan dengan tujuan ekonomi pembangunan Islam yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga mengedepankan kebermanfaatan. Usahanya menciptakan lapangan kerja, memberikan suplai pangan sehat, dan menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitar. Dengan tetap memegang prinsip kehalalan, keadilan, dan keberkahan, bisnis Adib menunjukkan bagaimana ekonomi Islam dapat hadir dalam praktik nyata. Ia menjadi contoh bahwa pembangunan ekonomi umat bisa dimulai dari sektor kecil seperti budidaya jamur, namun dengan dampak sosial yang luas.


Adib membuktikan bahwa lulusan pesantren juga memiliki potensi besar untuk berkontribusi di berbagai bidang, termasuk wirausaha. Dengan usaha jamur tiramnya, ia tidak hanya menepis stigma bahwa santri hanya bisa menjadi ustadz, tetapi bisa menjadi keduanya — santri dan pengusaha. Ini menunjukkan bahwa santri bisa menjadi penggerak ekonomi. Inovasi, ketekunan, serta nilai-nilai Islam yang ia terapkan menjadikan bisnisnya bukan sekadar sarana mencari nafkah, melainkan juga ibadah dan kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi Islam. Dari sinilah muncul inspirasi bahwa setiap santri memiliki peluang untuk menjadi pengusaha sukses sekaligus membawa keberkahan bagi umat.

Kontributor: Nurul Asmi, Mahasiswi STIS Al Wafa
Editor: Finantyo Eddy

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)