
 Indridiah Pangestu Ningtyas (49), salah satu orang tua murid Sekolah Rakyat Terintegrasi 7 Kota Probolinggo, pada Kamis (16/10/2025). Amiriyandi InfoPublik
  Indridiah Pangestu Ningtyas (49), salah satu orang tua murid Sekolah Rakyat Terintegrasi 7 Kota Probolinggo, pada Kamis (16/10/2025). Amiriyandi InfoPublikPanas terik Kota Probolinggo tak menyurutkan semangat Indridiah Pangestu Ningtyas (49), atau yang akrab disapa Ibu Indri. Sejak 2005, ia mengayuh sepeda tuanya menjajakan kerupuk, tisu, dan minyak oles dari kantor ke kantor, dari sekolah ke sekolah. Tak peduli hujan atau panas, tubuhnya yang kecil tampak tangguh melawan waktu dan cuaca.
Sepeda yang kini ia gunakan bahkan pernah ditabrak motor hingga bengkok di bagian belakang. Namun, tak ada keluhan keluar dari bibirnya. Sepeda itu tetap ia tunggangi setiap hari, seakan menjadi saksi bisu atas ribuan kilometer yang telah ia tempuh demi sesuap nasi dan seberkas harapan. Ia memulai harinya pukul 08.00 pagi, lalu menutupnya saat langit mulai redup sekitar pukul 17.00 sore.
"Kalau habis semua, bisa dapat Rp250 ribu. Kalau nggak habis, ya sekitar Rp100 ribu sampai Rp150 ribu," kata Indri. Penghasilan yang tidak pasti itu menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan harian, membayar sewa rumah susun sebesar Rp100 ribu, ditambah biaya PDAM sebesar Rp45 ribu dan listrik sekitar Rp50 ribu per bulan. “Dicukup-cukupkan, Mas. Namanya juga usaha,” ujar Indri ketika ditemui InfoPublik.id di Sekolah Rakyat (SR) Terintegrasi 7 Kota Probolinggo, pada Kamis (16/10/2025).
Perjuangan hidup Indri tak dimulai hari ini. Ia telah melaluinya sendiri sejak 2007, saat sang suami meninggal dunia. Sempat tinggal bersama ayahnya, Indri lalu memilih mandiri demi anak-anaknya. Ia mengontrak rumah di dekat TPA Jalan Anggrek selama tujuh tahun sebelum akhirnya menerima surat penggusuran. Dari situlah ia pindah ke rumah susun sebagai bagian dari program relokasi pemerintah.
Kini, Indri tinggal hanya bersama satu dari tiga anaknya. Dua anak lainnya sudah berumah tangga dan bekerja, meski tidak serumah. Anak bungsunya kini menjadi siswa di Sekolah Rakyat, sebuah program pendidikan alternatif yang ditujukan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
"Awalnya anak saya ingin masuk SMK 1 atau SMK 2. Tapi terus ada pendataan dari Dinas Sosial. Pak RW telepon, katanya anak saya bisa masuk Sekolah Rakyat. Saya tanya ke anaknya, dia bilang mau. Alhamdulillah semua kebutuhan sekolah ditanggung," ujarnya dengan mata berbinar.
Bagi Indri, Sekolah Rakyat bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang tumbuh bagi anaknya. Ia melihat perubahan besar dalam sikap dan semangat belajarnya. "Sekarang anak saya lebih nurut, nggak main HP terus. Sudah ada perkembangan. Dulu pas SD ikut ngaji sama pramuka," katanya. Bahkan, sang anak kini tengah bersiap mewakili sekolah dalam lomba atletik tingkat kota yang akan digelar pada 29 Oktober mendatang.
"Saya senang anak saya mau sekolah daripada main HP terus di rumah. Saya juga jadi bisa nabung sedikit-sedikit. Kalau anak butuh pulsa atau keperluan sekolah, baru saya mampir. Soalnya kami hanya bisa ketemu Sabtu dan Minggu," ucapnya sambil mengusap peluh di kening.
Meskipun hanya seminggu sekali bertemu, ia merasa dekat secara batin. Tak jarang, Indri meneteskan air mata di sela tawanya saat bercerita. “Kadang pas jualan, kalau anak saya butuh sesuatu, baru saya mampir. Tapi sekarang Alhamdulillah, lebih hemat karena anaknya nggak pegang HP terus,” tambahnya.
Indri berharap agar program Sekolah Rakyat tidak hanya berhenti di jenjang menengah, tapi bisa berlanjut hingga perguruan tinggi. Ia ingin anaknya bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin. "Katanya sih pengin masuk ITB. Saya nggak begitu paham, tapi saya dukung penuh. Bismillah, saya yakin," tuturnya dengan suara bergetar.
Bagi Indri, sepeda tuanya bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah kendaraan mimpi, yang mengantarkannya dari satu pintu ke pintu lainnya, dari satu dinas ke dinas lain, demi mewujudkan masa depan anaknya. Ia sudah mengenal banyak orang di sepanjang jalan itu, sebagian besar petugas atau pegawai yang kini mengenalnya sebagai sosok tangguh dan bersahaja.
Di tengah kelelahan, dengan mata yang nyaris basah. Di balik tawa dan tangisnya, ada satu hal yang tak pernah padam: harapan
"Alhamdulillah, saya bersyukur ada program ini. Saya sangat setuju. Sangat setuju," pungkasnya.
Penulis: Triantoro
Redaktur: Kristantyo Wisnubroto
Berita ini sudah terbit di infopublik.id: https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/942644/langkah-kecil-di-jalan-besar-kisah-ibu-indri-sekolahkan-anaknya-di-sekolah-rakyat
Sumber: https://indonesia.go.id/kategori/feature/10226/langkah-kecil-di-jalan-besar-kisah-ibu-indri-sekolahkan-anaknya-di-sekolah-rakyat?lang=1
