Negeri Muna-Buton (Wuna – Wolio): Antara Mitos, Mistik dan Mis-Interpretasi

rm
0


RepublikMenulis.com - 
DUA NEGERI – Buton dan Muna (Bathni wal Munajati) bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara berada pada dua pulau yang berbeda berstatus Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna. Pada zaman dahulu Kabupaten Buton adalah wilayah ex Kesultanan Buton (Wolio) sedangkan Kabupaten Muna adalah wilayah ex Kerajaan Muna (Wuna).- Kisah Wuna Wolio merangkum sejarah panjang dirinya – existensi, konsep diri dan locus teritory – hingga masuk dalam fase moderen.

Bentuk pulau Dua Negeri ini – Wuna Wolio – mencitrakan seolah membentuk model “Plasenta dan Janinnya”. Pulau Buton berbentuk Janin dan Pulau Muna adalah Plasentanya. Wuna dan Wolio dikenal sebagai Negeri Barakati. Wolio (Buton) adalah Barakati Miana (berkat orangnya) dan Wuna (Muna) Barakati Tanana (berkat tanahnya).

Keberkatan negeri ini dilukiskan demikian paripurna dalam buku Assajaru fiy Khuliqo Daarl Bathni wal Daarl Munajati lengkap dengan silsilah Wa Kaakaa dan asal muasal kehadirannya. Konon Dua Negeri ini terpaut dalam kata Muhammad, miym-ha-miym-dal.

Tidak hanya itu saja, cerita tutur masyarakat mengisahkan bahwa Pulau Buton berasal dari sekepal buih – “bura satongka awwalina”, sedang Pulau Muna berasal dari sebongkah batu – “kontu sepoyi pakatandano”.

Belum cukup dengan itu semua, Julius Couvreur – controlieur Belanda di Muna 1935 – menulis buku Sejarah dan Adat Kebudayaan Muna, melukiskan Negeri Muna telah dihuni oleh Para Ruh jauh sebelum ada pulaunya.

Maka Kisah-kisah rakyat / epik Wuna-Wolio tidak pernah jauh dari hal-hal yang beraroma mistik, legenda untuk dicoba dicerna ke dalam alam pikiran agar dapat dipugar sebagai bangunan fakta sejarah.

Beberapa epik yang diklaim sebagai “fakta” seperti kisah Wa Kaakaa yang lahir dari sebilah bambu, peristiwa perang La Baluwu vs La Bukutorende selama 7 hari 7 malam dll di Wolio (Buton), dan kisah La Eli yang juga lahir dari bambu, kapal sawerigadi dan batu berbunga di Wuna. Atau We Tanri Abe naik loyang dari kampungnya di Luwu dan mendarat di Lohiya Muna. Kita tidak akan masuk pada kisah diatas namun kisah itu menarik untuk disimak karena dia telah menjadi ruh dan nyawa masyarakat Wuna Wolio.

Sementara fakta sejarah yang sesungguhnya seperti kehadiran VOC di Wolio dan di Wuna, seolah “leluasa” datang memerintah dan mempecundangi kedua negeri ini lalu pergi begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa. Konstruksi benteng keraton wolio yang fenomenal di lengkapi dengan 13 gerbangnya dan tiang bendera dekat masjid, tidak lebih dipandang sebagai “hal yang biasa”. Gemuruh kepahlawanan pemimpin dan rakyatnya serta kehebatan ipteknya kalah oleh deru cerita “fakta” mistik.

Jika Oputa yii Koo dikisahkan mengangkat senjata melawan voc dan beberapa sultan lainnya, maka kehebatan mereka dianggap “kurang greget” untuk dituturkan sebagai hero. Rakyat Wuna Wolio lebih suka dengan cerita kehebatan La Ode Wuna – manusia berbadan ular berekepala manusia, Sawerigading dan kapal batunya, atau kontu kowuna, karomahnya Sapati Bhaluwu – menempelkan tangannya di batu gerbang, karomah Kenepulu Bula sebagai “dosen terbang” di Al Azhar Kairo, karomah Haji Pada serta pembangunan Benteng Keraton Buton.

Didalam teori identitas komunitas kepulauan kita mengenal adanya konsep kosmologi dan sosio kultural melalui local value, local knowledge dan local institution. Terori ini disebut teori rasio alami yang tumbuh  dari taraf kesadaran komis ke taraf kesadaran religius lalu ke taraf kesadaran sosial. (Konsep Diri Masy. Kepulauan – Aholiab Wathloly – Abstraksi).

Jika kita mengamati secara cermat kisah atau legenda masyarakat, maka nampak sekali taraf kesadaran religius Negeri Wuna Wolio lebih tinggi bahkan kesadaran religius yang dimiliki justru menjadi lambang tingkat kesadaran kosmik dan sosial yang sempurna.

Perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi kesultanan di Wolio menunjukan fakta yang tak terbantahkan atas adagium diatas. Hal ini kemudian ditunjukan pula oleh dasar falsafah negara yakni Murtabati Pituanguna (Martabat Tujuh) dan Shifati Ruapulu (Shifat Dua puluh) yang dinukil dari isi al Quran Karim.

Di Wuna, sistem pemerintahannya tetap sebagai kerajaan, namun falsafah bernegara dilandasi oleh faham Adat Bersendikan Sara - Sara Bersendikan Kitabullah. Raja hanya dapat digantikan oleh keturunannya.

Cerita-cerita diatas lalu diceritakan ulang secara turun temurun tanpa “mengindahkan” asbabun nuzul dan fakta yang melatarbelakanginya, apakah ia mitos atau fakta..

Disebuah negeri sudah dianggap lumrah jika ada cerita berbau mistik, fiksi atau legenda. Akan tetapi mau sampai kapan kisah-kisah mitos-legenda mau di-fakta-kan atau kisah-kisah fakta mau di-mitos-kan dibiarkan tertanam dalam benak Miana Wolio dan Mieno Wuna..? Itu artinya kita telah “kehilangan” babad sejarah Jati Diri kita yang orsinil dalam puluhan generasi. Disini nampak sekali mis-interpretasi terhadap sejarah dibiarkan berkembang dan menjadi pegangan budaya.-

Contoh menarik dari kisah mitos bercampur mistik, salah satunya adalah kehadiran La Eli dan Wa Kaakaa di dunia ini, konon terlahir dari sebilah bambu – bheteno ne tombula atau bhete yi tombula - telah dimaknai sebagai “apa adanya” tanpa memperhatikan asal dan usul kelahiran manusia melalui pencampuran laki dan perempuan.- Manusia yang tidak memliki bapak dan ibu hanya Nabi Adam as. Sedang yang tidak berbapak hanya Nabi Isa as.- Selain dari kedua orang tersebut, tidak ditemukan lagi orang model demikian.

Bheteno Ne Tombula / Bhete yi Tombula dan Bheteno Ne Tombu Laa / Bhete yi Tombu Laa, jika diuraikan akar kata dari kedua kalimat tersebut, tentu memiliki makna yang berbeda pula. Sekalipun yang satu dari rumpun Wamba Wuna (bahasa Muna) dan yang satu lagi dari rumpun Pogau Wolio (Bahasa Buton) namun memliki arti yang sama.- Karena adanya kesamaan arti maka selanjutnya kita hanya akan menguraikan kata “Bheteno Ne Tombula / Bhete yi Tombula” dan “Bheteno Ne Tombu Laa” saja.-

Makna Kata Pertama,

Jika merujuk pada Kamus Muna-Indonesia-Inggris karya La Ode Sidu dan Rene van den Berg; “Bhete“-bermakna muncul, timbul, terbit, tembus, “Bhete” mendapat imbuhan “no“- bermakna sesuatu yang muncul, timbul, terbit, tembus. Sedang “Tombula“-bermakna sejenis bambu. Sehingga “Bheteno Ne Tombula“- bermakna susuatu yang muncul dari belah bambu atau batang bambu atau rumpun bambu.

Jika penafsiran “Bheteno Ne Tombula” merujuk pada akar kata tersebut, maka apa yang dipahami selama ini menjadi lumrah. Pada pandangan makna pertama tersebut, tertutuplah pandangan bahwa Baizul Zamani bukanlah sosok manusia ghaib seperti ungkapan yang selama ini kita terima.

Makna Kata Kedua,

Mari kita lihat dalam sudut pandang lain. Dalam kamus yang sama, kita memisahkan kata “Tombula” menjadi “Tombu” dan “Laa” sehingga menjadi “Bheteno Ne Tombu Laa” (perhatikan baik-baik susunan katanya), sebagaimana uraian makna kata pada pandangan pertama di atas.

Kata “Bheteno Ne“-bermakna sama yakni sesuatu yang muncul, timbul, terbit dari. Kata “Tombu” bermakna kelompok atau masyarakat, wilayah, lingkungan, daerah. Sedang kata “Laa” bermakna “lurus“. Dalam kalimat utuh, “Bheteno Ne Tombu Laa” bermakna sesuatu yang muncul dari masyarakat, daerah, wilayah, lingkungan yang lurus. Untuk memastikan, silahkan anda periksa akar-akar kata ini dengan panduan Kamus Muna-Indonesia-Inggris tersebut.

Dalam bahasa Arab, manusia yang terbaik, lurus, baik hati, gagah, jujur disebut dengan “Khairuman”. Khairuman bermakna orang pilihan yang dipilih dari lingkungan orang-orang baik, terpercaya dan memiliki watak kepemimpinan. Dari kata “khairuman” kemudian kita mengenal istilah “Chairman” sebagai pemimpin perusahaan (Chief Ecxecutive Officer), orang terbaik dipilih dan diangkat oleh para pemegang saham.

Jika dicermati kedua susunan kata-katanya, maka “Bheteno Ne Tombula” dan “Bheteno Ne Tombu Laa” memiliki konsekwensi penafsiran dan pemaknaan yang berbeda pula.

Pertama, peristiwa pengangkatan Baizul Zamani sebagai Raja Muna I dan Wa Kaakaa sebagai Raja Wolio I boleh jadi bukanlah didasarkan atas peristiwa ghaib, mistik sebagaimana yang dipahami selama ini. Melainkan didasarkan pada ketinggian budi, moral, perilaku, ucapan, pemikiran yang melampaui zamannya.

Kedua, oleh karena itu, maka makna kata kedua menggugurkan makna kata pertama, sehingga perlu suatu rekonstruksi baru atas kronologi peristiwa sejarah ditemukannya Baidzul Zamani dan Wa Kaakaa dalam rumpun bambu tersebut, kemudian dibawa menuju “Lambu Balano” di Kalogha atau Lelemangura dan peristiwa-peristiwa setelahnya.

Mengapa? Karena Makna kata Baizul Zamani dan Lambu Balano juga memiliki kedekatan makna. Lambu Balano bermakna rumah besar, sedang Baidzul Zamani bermakna Rumah Zaman (Kehidupan).

Ketiga, oleh karena seluruh peristiwa kemunculan Baidzul Zamani dan WaKaakaa hadir bukan sebagai mitos, apalagi takhyul melainkan sebagai sejarah yang bisa ditelusuri seluruh fakta-fakta empiriknya. Untuk itu, setiap pandangan takhyul, mitos, gaib mesti dimusnahkan untuk segera digantikan dengan penelusuran lebih mendalam dan memadai untuk menilik sejarah diri Baidzul Zamani dan Wa Kaakaa sendiri.

Keempat, dengan bersihnya pandangan sejarah Baidzul Zamani dan Wa Kaakaa dari anasir-anasir takhyul itu, generasi mendatang bisa dan akan jauh lebih mengenal leluhurnya dengan suatu pandangan baru yang lebih luas dan mencerahkan kehidupan masa depan mereka.

Lalu, apa hubungan antara kisah terbentuknya pulau Muna dan Buton dengan Sejarah “Bheteno Ne Tombu Laa“? Sulit untuk mengatakan bahwa bentangan kisah rahasia diatas tidak ada kaitan, baik secara historis, geologis maupun spiritual.

Secara pribadi, saya lebih condong untuk mengatakan peristiwa tersebut di atas tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa “Bheteno Ne Tombu Laa” itu sendiri. Kuat dugaan saya, bahwa kejadian terbentuknya Pulau Muna dan Buton tidaklah murni hanya peristiwa kebumian yang terlepas dari peristiwa spiritual Bheteno Ne Tombu Laa dan kondisi sosial saat itu. Mungkin terkait erat pula dengan sejarah masuknya Islam di Muna itu sendiri. Seluruh rangkaian peristiwa ini tentu tidaklah berdiri sendiri-sendiri atau terpisah satu sama lain tanpa satu tujuan yang sama.

Perlu suatu penegasan bahwa “Bheteno Ne Tombu Laa” merupakan suatu gelaran yang diberikan oleh masyarakat lokal yang mendiami daratan Pulau Muna terhadap ketinggian Moral dari Baidzul Zamani ketika itu. Gelaran itu, bukanlah merupakan persitiwa ghaib dan mistis semata. Harus pula diakui bahwa pada periode kesejarahan Islam, memang banyak tokoh-tokoh yang terlibat dalam syiar Islam diberbagai daerah/wilayah memiliki suatu karomah atau “kelebihan”. Dalam pandangan awam kita, dikenal dengan sebutan supernatural. Hal ini tidak menutup kemungkinan juga dimiliki oleh Baidzul Zamani sehingga mampu bersembunyi di dalam sebuah batang bambu.-

Wallaahu a’lamu bishshawwab..

Hasbunallaha wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’mal nashir..

(Penulis adalah Adjinur Halidin, Pemerhati Sosial dan Pendidikan)

Sumber:

1.    Sejarah Adat dan Kebudayaan Muna – J. Couvrer

2.    Sajarah dan adat fiy Daarul Buthuni – AM. Zahari

3.    Rochmady dan Lain-Lain Sumber / Internet

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)