Pariwisata: Mancing Duit – Umpannya Ecek-Ecek

rm
0


Republikmenulis.com
-- "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." – QS 3 : 191

Pariwisata Indonesia sejatinya memiliki potensi luar biasa. Dari Sabang hingga Merauke, setiap daerah memiliki kekayaan alam dan budaya yang tak ternilai. Namun potensi sebesar itu tidak akan berarti jika tidak dikelola dengan visi dan kesungguhan. Kita membutuhkan paradigma baru: pariwisata bukan sekadar alat “mancing duit”, melainkan sarana menjaring manfaat bagi semua pihak — pemerintah, masyarakat, wisatawan, dan lingkungan.

Banyak daerah berlomba-lomba membuka destinasi wisata baru. Tujuannya satu: mendatangkan wisatawan, tujuannya untuk ‘mancing duit’. Tapi sayangnya, umpan yang dilempar sering kali ecek-ecek — seadanya, tanpa perencanaan, tanpa visi jangka panjang. Akibatnya, yang didapat bukan ikan besar, melainkan kekecewaan pengunjung dan rusaknya alam.

Fenomena ini begitu nyata. Setiap tahun muncul destinasi wisata baru yang viral di media sosial. Spot foto dibangun kilat, jalan setapak dicor seadanya, lalu dibuka untuk umum dengan harapan cepat menghasilkan. Namun setelah ramai sesaat, tempat itu perlahan sepi. Fasilitas rusak, kebersihan diabaikan, dan pengelola tak tahu harus berbuat apa. Ini mencerminkan cara pandang jangka pendek yang menilai pariwisata hanya dari sisi keuntungan finansial, bukan dari kualitas dan keberlanjutan.

Banyak pengelola dan pemerintah daerah beranggapan bahwa promosi besar-besaran sudah cukup untuk menarik wisatawan. Padahal, promosi tanpa kualitas ibarat memancing dengan umpan plastik — tampak menarik dari jauh, tetapi tak akan menggigit di air. Pariwisata bukan sekadar menjual pemandangan, melainkan menjual pengalaman dan kepercayaan. Ketika wisatawan kecewa, mereka tidak hanya berhenti datang, tetapi juga berhenti merekomendasikan. Dalam era digital, satu ulasan buruk bisa menggugurkan seribu brosur indah.

Untuk itu, diperlukan kesadaran bahwa daya tarik wisata tidak terletak pada banyaknya pengunjung, tetapi pada kualitas pengalaman yang ditawarkan. Pengelolaan yang profesional, infrastruktur memadai, kebersihan, keramahan, serta pelestarian budaya harus menjadi prioritas. Sebab, wisatawan modern tidak hanya mencari tempat indah, tetapi juga makna, kenyamanan, dan keaslian.

Seiring waktu, pariwisata akan menjadi cermin dari bagaimana suatu bangsa menghargai alam dan budayanya. Jika kita masih memancing dengan umpan ecek-ecek, jangan berharap ikan besar akan datang. Tetapi bila kita menyiapkan umpan terbaik — dalam bentuk pelayanan prima, kesadaran lingkungan, dan penghargaan terhadap budaya — maka hasilnya tak hanya keuntungan ekonomi, melainkan kebanggaan nasional yang sesungguhnya.

Duh Indonesiaku… Ada apa denganmu..?

Memasuki era 2024, secara kumulatif, kunjungan wisman pada Januari hingga Maret 2024 meningkat 25,43 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Peningkatan kunjungan ini utamanya tercatat pada pintu bandara Ngurah Rai-Bali dan Soekarno Hatta-Banten, masing-masing meningkat sebesar 31,49 persen dan 33,03 persen.

Angka-angka diatas menunjukan trend menaik kunjungan wiman ke Indonesia dibanding tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi gemerlap angka diatas masih berada pada tataran “biasa-biasa” saja dibanding negara-negara Asean se area dengan Indonesia.

Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Malaysia mencapai 26,1 juta orang sepanjang Januari hingga November 2023. Capaian itu menjadikan negara dengan slogan pariwisata "Malaysia Truly Asia" itu sebagai negara paling populer di Asean pada tahun lalu. Thailand ada di posisi kedua dengan 24,6 juta kunjungan wisman untuk periode yang sama. Kemudian Singapura 12,4 juta kunjungan wisman dan Vietnam 11,2 juta kunjungan wisman.

Membandingkan angka kunjungan wisman antara Malaysia – Thailand – Singapura dan Indonesia jelas sekali angka kunjungan wisman ke Indonesia cuma beda tipis dengan Singapura – sebuah negara pulau yang luasnya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Atau berada sedikit di atas Vietnam. Buku Best of Singapura menyebutkan kalau jarak Singapura dari barat ke timur hanya 48 kilo meter. Sementara, jarak dari utara ke selatannya hanya 23 kilo meter.

Problematika Pariwisata

Lebih jauh, orientasi ekonomi yang sempit sering mengorbankan nilai budaya dan kelestarian alam. Banyak objek wisata alam dibuka tanpa studi lingkungan yang matang, hingga akhirnya rusak akibat eksploitasi berlebihan. Tradisi dan kesenian lokal dijadikan tontonan tanpa makna, bukan sebagai warisan yang dijaga. Padahal, seperti dikatakan pakar pariwisata John Swarbrooke (1999), “sustainability is not an option, it is a necessity.” Pariwisata yang tidak berkelanjutan hanyalah kemewahan semu yang meninggalkan kerusakan jangka panjang.

Tak hanya itu, masyarakat lokal yang seharusnya menjadi bagian utama dalam pembangunan pariwisata justru kerap terpinggirkan. Mereka dijadikan latar hidup eksotis untuk menarik wisatawan, tanpa diberi ruang untuk berperan dan menikmati hasilnya. Inilah paradoks pariwisata kita: ramai pengunjung, tapi sepi manfaat. Jika masyarakat sekitar tidak diberdayakan, maka pariwisata hanya akan menjadi proyek elitis, bukan motor penggerak kesejahteraan bersama.

Harapan dan Garapan

Nampaknya Pemerintah seolah merasa tertampar ketika pergerakan angka kunjungan wisman pada setiap tahunnya tidak signifikan menunjukan angka-naik bahkan cenderung “lambat” bila aple to aple dengan sesama negara Asean lainnya. Wajar saja karena Indonesia adalah negara besar baik dari segi populasi maupun luas wilayah serta potensi wisatanya.

Selain “membujuk” Pemerintah Daerah agar sudi memperbaiki infrastruktur pariwisata di daerah dan menata peraturan yang tumpang tindih, Kemenpar memproklamirkan pariwisata berkelanjutan atau suistainable tourism agar mampu memancing duit wisatawan dan tidak lagi fokus mengejar angka kunjungan wisatawan.

Singkatnya suistainable tourism atau pariwisata berkelanjutan adalah pengembangan konsep berwisata yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi seluruh masyarakat lokal maupun wisatawan yang berkunjung. Konsep ini bukanlah hal baru di Indonesia karena banyaknya destinasi wisata berbasis suistainable tourism yang masih terus bertahan hingga sekarang.

Pariwisata seharusnya bukan arena untuk mencari uang cepat, melainkan wadah membangun citra, karakter, dan kesejahteraan bangsa. Saat semua pihak sadar akan hal itu, barulah “mancing duit” berubah makna — dari sekadar menarik rezeki menjadi seni menghadirkan nilai dan keindahan. Dan ketika umpan yang kita lempar bukan lagi ecek-ecek, maka Indonesia akan benar-benar dikenal bukan hanya karena indahnya alam, tetapi karena bijaknya mengelola keindahan itu sendiri.

Akhirnya Pemerintah insyaf dan tersadar dari “mati-rasanya” bahwa mancing ikan yang besar harus pake umpan yang besar juga.

Pokok persoalan kita ada pada Sumber Daya Manusia. Benahi SDM, beri pelatihan dan asah kompetensi, jangan ragu beri insentif yang besar serta penghormatan dan pemuliaan pada aspek attitudenya.

So…Mancing duit wisatawan harus pake umpan yang giginya tajam supaya dapat menyobek dompet wisatawan, dan tergerak hatinya untuk segera datang ke Indonesia.

Berhentilah pake umpan ecek-ecek….

Daftar Pustaka

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)